Pages

Tuesday, January 15, 2013

Cirebon, Keraton Kasepuhan [observasi]

NAMA : PATRIC RIO
NIM     : 11140110138
KELAS : E1





Bukan sesuatu yang baru bagi  kita sebagai bagian dari NKRI terhadap munculnya perbedaan.  Perbedaan itu bisa bermacam-macam.  Bisa suku, ras, agama, maupun budaya.  Mengapa demikian ? Hai itu  disebabkan oleh luasnya geografi Indonesia.  Siapa yang tidak bangga dengan kekayaan budaya yang kita miliki.  Hal ini patutlah membuat kita sebagai warga Negara Indonesia menjadi sadar, peduli, dan berperan aktif dalam pelestarian budaya yang ada ini.  Kenyataannya, sering kali, kita sebagai anak bangsa justru merasa malu menggunakan atau bahkan melestarikan bangsa Indonesia.  Itu disebabkan oleh tingginya arus global yang berimbas langsung ke budaya yang ada di Indonesia.  Kita bahkan harus ‘menunggu’ budaya kita diakui atau dicap bangsa lain terlebih dahulu.  Ingat, kain sondet, lalu tari kecak, tari piring, bahkan batik.  Ya,setelah menyebarnya isu pencaplokan budaya, barulah kita seakan-akan kebakaran jenggot seolah-olah kita melestarikannya. 

Lain daripada itu, perbedaan budaya juga acap kali membuat kita kesulitan terhadap suatu hal.  Biasanya, kita tidak mudah mengerti atau sulit untuk menyesuaikankan diri dengan budaya lain.  Ragam budaya tersebut seakan mempunyai lingkup dan aturannya sendiri.  Lantas bagaimana kita bisa mengenal budaya tersebut lebih dekat ? Cara satu-satunya yaitu adalah terjun langsung ke lokasi.  Tidak cukup hanya sekali tatap muka untuk mengenal lebih jauh.  Butuh waktu bahkan bertahun-tahun agar kita bisa kerasan terhadap budaya tersebut.  Kita pun harus siap terhadap situasi-situasi baru dalam konteks kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya

Nah, salah satu objek kebudayaan yang akan saya kaji saat ini adalah Budaya Cirebon khususnya Keraton Kasepuhan.  Kota Cirebon ini merupakan salah satu kota yang ada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia.  Kota ini dikenal sebagai tempat singgah di bulan-bulan mudik yaitu saat Hari Raya Idul Fitri.  Di kota ini terdapat salah satu jalur yang sangat krusial yang menghubungkan Cirebon-Surabaya-Semarang-Jakarta.  Lancar dan pendeknya waktu tempuh menjadi alasan mengapa banyak orang melewati jalur ini untuk mudik. 

Saya berangkat bersama rekan dengan kereta menuju Cirebon pukul 6 pagi.  Jiwa ini seakan memaksa untuk bangun meskipun raga malas untuk bergerak.  Alhasil, berangkat lah saya dan sampai di Cirebon pukul 11.00 siang bersama rombongan.  Sampai disana, saya dan beberapa rekan bingung, objek mana yang didahulukan.  Akhirnya kita terlebih dahulu mengelilingi Kota Cirebon. 

Kebetulan, tempat kami dekat dengan pusat kota monumen dan simbol-simbol yang menandakan itu Kota Cirebon.  Salah satu tempat yang kita datangi yaitu adalah PDAM kota Cirebon. Tidak banyak yang bisa dilihat.  Hanya bangunan PDAM dan tanda selamat datang.  Namun, saya dapat petikan wawancara dengan salah satu petugas disana.  Namanya Bapak Heri.  Beliau ini putra asli Cirebon dan sudah berada di Cirebon selama 40 tahun.  



Dia banyak berbicara mengenai berbagai macam keunikkan Kota Udang ini.  Salah satunya yaitu tarling.  Awalnya saya sempat bingung apa itu.  Dia menjelaskan bahwa Tarling itu adalah musik dangdut khas daerah Cirebon.  Tarling merupakan singkatan dari Gitar dan Suling.   Biasanya kesenian ini akrab dengan daerah pesisir Pantura (Pantai Utara Jawa).  Alunan musik, serta suara suling bambu yang bersahutan seakan bercampur menjadi satu. 

“Musik Tarling ini sudah menjadi satu kesatuan bagi Cirebon.  Pokoknya kalo denger musik ini semua beban rasanya hilang deh,” ujarnya mantap.  

Cuaca yang cukup panas memaksa kami berhenti sebentar.  Sejenak kami singgah di rumah makan.  Rumah makan yang kami tuju adalah rumah makan yang terkenal dengan menu khas Cirebon yaitu, Nasi Jamblang Mang Dul.  Salah satu teman saya berkata bahwa santapan yang terkenal di Cirebon adalah nasi jamblang.  Sesampainya disana, saya melihat antrian yang cukup ramai  (ada di video).  Sejenak terlintas di benak saya, apa istimewanya ?  Tanpa pikir panjang, segera kami antri.  Saat itu saya tidak berpikir untuk mendokumentasikan karena sudah lapar.  Beruntung salah satu dari kami sempat mendokumentasikan.  Menu yang saya pilih adalah, telor dadar, tempe, usus dan rendang.  Yang menjadi istimewa disini adalah nasi yang diberikan itu awalnya dibungkus dengan daun jati.  Entah apa yang berubah, saya pikir tidak ada perbedaan dengan nasi biasa.  Isinya pun lebih dikit saat dibungkus.  Oke setelah, perut terisi mari kita lanjut lagi. 



Saya singgah sebentar di penginapan dan langsung berangkat lagi.  Tujuan kami selanjutnya yaitu Kampung Arab dan Keraton Kasepuhan.  Perjalanan ke kampung Arab tidak terlalu jauh apalagi perut telah terisi penuh.  Sesampainya di Kampung Arab, saya dan beberapa teman dibantu oleh guide (saudaranya teman saya).  Sebenarnya banyak sekali obyek yang bisa dikaji disana.
 Sayangnya, mungkin kepribadian mereka sedikit tertutup dan tergolong introvert.  Kami kesana tidak sedikitpun orang Arab yang mau keluar.  Lalu, ada lagi objek wisata Mesjid Merah.  Meskipun kami sempat melihat-lihat dan bertanya, sayangnya penduduk setempat sempat menegur ketika kami ingin meliput.  Apa daya, kami tidak mendapat apa-apa disana.  Perjalanan pun berlanjut ke Keraton Kasepuhan. 
Keraton di kota Cirebon sendiri ada banyak.  Selain  Keraton Kasepuhan, masih ada tiga keraton lainnya yaitu Keraton Kaprabonan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan.  Keraton Kasepuhan sendiri adalah keraton yang menjadi tempat tinggal keluarga besar kesultanan Cirebon.  Keraton ini berada di salah satu sudut kota dan wilayahnya sangat luas (25Ha). 
Menurut warga sana, keraton ini adalah keraton paling terawat dibanding keraton lainnya.  Tampaknya anggapan itu benar karena esoknya, saya dan rombongan berkunjung ke Keraton Kanoman.  Pelestarian disana berbeda dengan Keraton Kasepuhan.  Mungkin karena Keraton Kasepuhan masih ditinggali Sultan didalamnya, sehingga perawatannya masih cukup baik. 



 ELEMEN BUDAYA
Dalam Keraton ini ada beberapa elemen budaya yang dapat kita teliti.  Menurut Samovar, ada 5 elemen yaitu Sejarah, Agama, Nilai, Organisasi Sosial dan Bahasa. 
Kita awali dengan sejarah.  Awal mula Keraton Kasepuhan itu pada abad 15 dimana Pangeran Cakrabuana putra mahkota Pajajaran membangun Keraton yang kemudian diserahkan kepada putrinya Ratu Ayu Pakungwati.  Nah, Ratu ini menikah dengan sepupunya yang dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.  Lalu kemudian, salah satu figur wali songo tersebut ditahbiskan sebagai pemimpin atau kepala negara di Cirebon dan tinggal di Keraton Pakungwati.  Sejak saat itu, Cirebon dikenal sebagai pusat pengembangan agama Islam di Jawa dengan adanya wali songo yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati beserta peninggalannya seperti Masjid Agung Sang Cipta Rasa. 
Nama keraton sendiri diambil dari nama Ratu Ayu Pakungwati Putri P Cakrabuwana yang menikah dengan Sunan Gung Jati.  Konon katanya, Putri ini cantik rupawan dan berbudi luhur dapat mendampingi suami di bidang pembinaan negara dan juga penyayang rakyat.  Tahun, 1549 peninggalan bersejarah Masjid Agung disana terkena kebakaran, sosok ratu yang sudah tua turut memadamkan api.  Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.  Ratu Wafat.  Namanya pun diabadikan oleh suaminya.  Pada 1679 Keraton Kanoman didirikan oleh Sultan Badridin maka semenjak itu Kraton Pakungwati ini disebut Keraton Kasepuhan.  Disini, sultannya bergelar Sepuh yang berarti tempat yang sepuh/tua, jadi antara Kasepuhan dan Kanoman itu awalnya yang tua dan yang muda (kakak beradik).  Seperti kata Samovar, sejarah “memberitahukan’ anggotanya apa yang dianggap penting dan mengidentifikasi budaya yang pantas dibanggakan.  Sejarah Keraton Kasepuhan sendiri menjadi penting karena, melalui keraton inilah perkembangan agama Isalam meningkat pesat di Jawa.  Terlebih yang memimpin adalah salah satu wali songo yang notabene sebagai sosok intelektual dan pembaharu bagi masyarakatnya. 
Melalui pemaparan diatas, ada elemen budaya lainnya yaitu agama.  Dikutip dari buku Komunikasi Antar Budaya, kata agama sendiri berasal dari bahasa Latin religare yang berati untuk mengikar.  Hal ini dengan jelas menandakan bahwa agama mengikat manusia dengan hal-hal sakral.  Di Keraton Kasepuhan sendiri, agama Islam adalah agama yang paling banyak dianut.  Banyaknya tempat ibadah seperti masjid adalah salah satu simbolnya.  Selain Masjid Cipta Rasa, ada juga Musholla Langgar Agung didalamnya yang masih digunakan untuk upacara Muludan.  Upacara tersebut adalah upacara untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.  Muludan dimulai dengan adanya pasar malam di alun-alun keraton yang dihadiri masyarakat cirebon dan masyarakat lainnya.  Nah, puncak acaranya adalah acara Panjang Jimat yang dilakukan di tiga keraton.  Acara ini dianggap sakral karena mengajak islam untuk terus mengingat dan mengerjakan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw.  Panjang Jumat juga membacakan shalawat yang memuji dan mendoakan Nabi Muhammad Saw serta ada kisah tentang  Nabi yang patut dicontoh dan diteladani. 
Di Keraton ini sendiri, sosok beliau diistimewakan dengan perayaan khusus.  Perayaan tersebut (muludan) biasanya menghadirkan benda-benda bersejarah dan dihadiri tamu-tamu negara sekelas Bpk. Agung Laksono, dan elit politik lainnya.  Selain itu, perayaannya juga terbuka bagi semua umat dan tamu.  Terlihat bahwa agama islam mencoba masuk ke budaya masyarakat Jawa tanpa adanya paksaan.  Kebesaran yang ditunjukkan oleh tokoh tersebut diharapkan mampu diimani dan dijalani setiap penduduk.
Lalu elemen bahasa.  Bagaimana masyarakat sekitar berkomunikasi ?  Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Bahasa Jawa Kromo Inggil. Namun, sekarang bahasanya lebih ke Sunda, karena di Cirebon Jawa yang ada Jawa Sawareh.  Penggunaannya pun berbeda.  Apabila sepantaran, maka kita menggunakan bahasa sehari-hari entah itu Kromo Inggil atau Sunda. 
“Tapi kalo ke org yang lebih tua/dihormati menggunakan Bahasa Kromo Inggil sebagai tanda kita menghormati mereka,” ujar pemandu. 
Pengaruh identitas seseorang dan kekuasaan ternyata cukup signifikan di sekitar Kasepuhan ini.  Penggunaan bahasa yg berbeda ke setiap orang atau golongan menjadi pembeda dan dapat menentukan identitas seseorang. 
Selanjutnya elemen nilai.  Nilai budaya mengidentifikasi apa yang baik dan yang buruk, mana yang harus dan yang tidak.  Agama Islam serta figur pemimpin memiliki warisan nilai yang tidak ada duanya di Keraton Kasepuhan.  Kolektivisme adalah salah satunya.  Terlihat dari cara pengambilan keputusan serta penyelesaian yang dilakukan oleh Sultan.  
Bpk. Feri
Menurut Bapak Feri, salah satu pemandu keraton, dalam menyelesaikkan sesuatu seorang sultan terbiasa memakai penasehat untuk memberikan saran – saran yang dpt menyelesaikan konflik. Meskipun belum ada staff yang resmi, Sultan biasanya meminta staff ahli (keluarganya) untuk ikut berdiskusi. Secara singkat masalah yang ada di selesaikan secara musyawarah. Ambil contoh untuk acara maulud, sultan bertanya ke lurah yang paham atau ke kaum masjid agung yang paham penanggalan-peninggalan Islam, para keluarga mendampingi si sultan. Lalu, ada nilai toleransi yang berasal dari sosok wali songo itu sendiri. 
Elemen terakhir yaitu elemen organisasi sosial.  Di keraton ini, sistem kepemimpinan yang dipakai mirip seperti Monarki.  Dikepalai oleh Raja (sultan), dan akan diwariskann kepada keturunannya.  Sultan akan dibantu staff ahli (keluarga) karena lebih tahu, bagaimana untuk menjalankan suatu tradisi.  Sultan yang sekarang  itu bernama P.R.A. Arief Natadiningrat, S.E.  Putra Mahkota Cirebon ini adalah penerus tradisi Kesultanan Kasepuhan. 
Beliau adalah anak dari P.R.A.H Maulana Pakuningrat yang wafat tahun 2010 karena penyakit jantung.   Arief sendiri sudah sejak dini disiapkan sebagai salah satu penerus di Keraton Kasepuhan. 

KOMUNIKASI NON-VERBAL



Tentunya ada gerakkan non verbal yang menjadi keunikan masyarakat cirebon, khususnya di keluarga keraton.   Apabila menunjuk sesuatu atau arah, maka menunjuk dengan jempol (seperti org bogor menunjuk arah).  Lalu, untuk menghormati seseorang maka kita melakukan gerakan seperti menyembah menggunakan tangan.  Hal itu bisa dilakukan pada siapapun.  Selain itu pengaturan  benda-benda sendiri sangat diperhatikan di dalam ruangan.  Mungkin kita terkejut ketika ke Bangsal Panembahan adalah rangkaian besi emas, seakan-akan sunan tidak ingin bertemu.  Nyatanya bukan demikian, benda tersebut digunakan untuk melihat dulu siapa tamu yang datang sehingga bisa bersiap-siap.  Ada juga meja rias.  Itu menandakan kalau menghadap sultan itu harus rapih dan sopan. 

STEREOTIPE
Di keraton ini ternyata juga mengenal stereotipe bahwa kalangan yang menjadi sultan hanyalah laki-laki  dan tidak boleh perempuan.  Ini adalah salah satu dari banyaknya penyimpangan komunikasi diterima sebagai kebenaran semu.  Mungkin, karena faktor budaya sehingga perempuan tidak boleh memimpin.  Nyatanya, di Britania, ratunya adalah perempuan dan sudah cukup lama.

SEKILAS KERATON KASEPUHAN

Jika kita menelusuri sejarah, tempat serta, artefak-artefak yang ada, maka akan sangat panjang untuk ditelaah.  Ada beberapa objek penting yang harus kita perhatikan.  Pertama, Alun-alun Sangkala Buwana.  Alun-alun ini dulunya digunakan untuk perang-perangan, apel rakyat besar, serta baris berbaris. 

Masuk kedalam, kita akan melalui Pintu Gledegan.  Objek tersebut adalah gerbang dimana dahulu  kala dijaga 2 orang askar/prajurit bertombak.  Apabila ada orang yang masuk, diperiksa dengan suara menggelegar seperti petir/gledek.  Hal itulah yang menyebabkan nama pintu tersebut Gledegan. 

Lalu, ada Taman Bunderan Dewan Daru dimana terdapat 8 buah pohon Dewan Daru (sesuai dengan namanya).  Bentuknya bundar yang berarti sepakat.  Dewan berarti makhluk halus, lalu daru berarti cahaya.  Semuanya itu berdefinisi (jika digabung satu kalimat) orang yang menerangi sesama mereka yang masih hidup dalam rasa kegelapan.  DI taman ini terdapat nandi (patung lembu kecil) sebagai lambang kepercayaan hindu, pohon soka lambang hidup bersuka hati, patung 2 ekor macan putih sbg lambang padjajaran, meja dan bangku batu, 2 buah meriam persembahan yang bernama Ki Santoma dan Nyi Santomi.  


Selanjutnya, ada juga Jinem Pangrawit yang digunakan untuk tempat Pangeran Patih atau wakil Sultan menerima tamu-tamu penting (lantai sudah direnovasi tahun 96).  Selanjutnya ada ruangan yang disebut Gajah Nguling.  Maksudnya, bentuk ruangannya tidak boleh lurus.  Menurut ilmu fengshui, hal itu bertujuan agar tidak boleh boros dan harus irit. 

Tempat ini sebagai penghubung antara Jinem Pangrawit dengan Bangsal.   Disini ada foto, Parabu Siliwangi yang dilukis oleh orang Garut bernama Pak Ridho , serta foto lainnya seperti peta dan gambar terdahulu Keraton Kasepuhan.  Khusus foto Prabu Siliwangi, apabila kita melihat dari tengah maka terlihat gendut atau tidak cocok sebagai figur raja.  Namun, apabila dari samping maka akan terlihat kurus dan layak sebagai kstaria.  Entah itu teknik foto atau bukan, kenyataan yang saya lihat adalah demikian. 


Nah, ada 3 ruangan yang dianggap cukup penting oleh penduduk setempat. Itu adalah, Bangsal Pringgandani, Bangsal Prabayaksa, serta Bangsal Agung.  Bangsal Pringgandani dipakai sidang para Warga Keraton.  Lalu, Bangsal Prabayaksa.  Praba berarti sayap, lalu Yaksa berarti besar.  Maksudnya, sultan melindungi rakyat dengan kedua tangannya yang besar seperti induk ayam melindungi anaknya dengan kedua sayap.   Ruangan ini berfungsi sebagai tempat sidang para Menteri Negara Keraton Kasepuhan.   Disini terdapat meja/ kursi bercat kuning gading, lamu kristal dari Prancis dan lampu storlop prasman dari VOC, tegel coklat yang mengandung ceritera Injil, juga piring keramik dari Cina dinasti Han Boe Tjie 1424.   Terakhir adalah Bangsal Agung yang berfungsi untuk tempat Singgasana Gusti Panembahan.  Didalamnya terdapat kursi singgasana dengan mejanya berkaki gambar ular yang melambangkan: dahulu ucapan raja adalah hukum.  Dibelakangnya, terdapat tempat tidur yang disebut Ranjang Kencana untuk istirahat siang.  Bangsal ini lebih banyak digunakn untuk sesaji Panjang Jimat yang dikerjakan oleh Kaum Masjid Agung dan disaksikan oleh Sultan, Raden Ayu dan kerabat keraton. 

Didepan Jinem Pangrawit sendiri, ada tempat parkir kendaraan sultan.  Tempat itu bernama Kuncung Poni.  Kendaraan itu bukanlah mobil melainkan Kereta Kencana Singa Barong.  Ada tiga lambang di kereta itu yang disebut Trisula.  Pertama sayap, yang berarti bahwa kereta itu bersahabat dengan Mesir yang agama Islam.  Lalu, belalai yang menandakan bahwa kereta itu bersahabat dengan India yang beragama Hindu.  Terakhir, ada tanduk yang menandakan bahwa kereta itu bersahabat dengan agama Buddha.  Kereta ini ditariknya bukan dengan kuda melainkan dengan kerbau putih.


“Shock breakernya terbuat dari kulit kebo.  Kalau jalan empuk,” ujar pemandu.
Selain itu, warisan budaya lain yang ada di keraton ini adalah batik.  Batik Cirebon yang khas adalah batik mega mendung.  Batik ini sudah menjadi turun-temurun di kawasan tersebut.  Kita bisa lihat ada ukiran batik mega mendung di pintu gerbang Kutagara Wadasan. 
Masyarakat asli sana ada 3 yaitu jawa, arab serta cina.  Tidak perlu kaget dengan hal itu.  Dari namanya saja Cirebon berarti caruban.  Caruban adalah campuran.  Toleransi masyarakat sana cukup tinggi sehingga jarang sekali terjadi diskriminasi. 

“Sebelum abad 15, chinese sudah datang.  Dibawa oleh laksamana Cheng Ho,” ujar Bpk Thamlin. 
Ada juga porcelain-porcelain yang berasal dari Belanda yang mengisahkan para nabi.  Warna biru disana mengisahkan tentang Belanda yang identik dengan bendungannya.  Kebanyakan porcelain itu bercerita tentang perjanjian lama seperti kisah Nuh, Musa, serta Adam. 

Sebelum menyudahi tidak ada salahnya saya menyajikan makanan terakhir khas Cirebon yang saya cicipi.  Nasi Lengko.  Beberapa teman saya seringkali menyebutnya latah dengan Lekong.  Namun, itu tidak mengurangi kenikmatannya.  Meskipun hanya terdiri dari sate, tahu, temp dan nasi , rasa lapar dan puas tetap tertuntaskan. 

Pada dasarnya masih banyak obyek serta elemen yang bisa digali.  Simbol non verbal serta elemen sudah sangat terlihat saat kita masuk ke keraton ini.  Apa yang kurang ? Waktu, dana, bahkan space tulisan ini pun membatasi.  Sampailah kita pada perpisahan.  Mari kita lestarikan budaya yang ada secara turun temurun.  Bukan hanya untuk Cirebon, tapi juga untuk Indonesia.  Salam.  

1 comment:

  1. https://www.facebook.com/Kraton-Jogja-407135259490406/

    Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat

    ReplyDelete