[CONTOH] Nama : Pelangi Pagi
[CONTOH] Kelas : G1
Sudah merupakan hak dan kewajiban setiap insan manusia untuk memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Tak dapat dimungkiri apabila terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan yang ada di dunia. Di Indonesia sendiri, terdapat 6 agama besar, yakni Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindhu, dan Konghucu.
Pada dasarnya, tidak ada yang salah dari menganut agama di atas karena semuanya mempunyai satu tujuan yang sama, yakni Allah sendiri. Indonesia pun memiliki berbagai macam keunikan dan tradisi turun-temurun sesuai agama yang dianunt. Contoh: setiap umat Katolik merayakan Misa Inkulturasi Nusa Tenggara Timur di gereja. Tujuannya adalah saling bertoleransi akan kebudayaan yang ada sekaligus memperkenalkan kita kepada berbagai macam budaya yang mungkin belum pernah kita sentuh sebelumnya.
Pada Misa Inkulturasi Nusa Tenggara Timur tersebut, perayaan Ekaristi akan dipimpin oleh Uskup, Pastor, atau Frater dari NTT. Budaya khas NTT seperti tarian Kataga. akan diperkenalkan dalam suatu sajian menarik yang pastinya akan membuat kita semakin bangga. Bangga karena Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang tak kalah bagusnya dengan budaya-budaya asing. Dahulu, tarian ini digunakan untuk menyambut pahlawan yang pulang sehabis berperang. Akan tetapi, tari Kataga ini sering dipertunjukkan dalam acara penyambutan tamu agung pada acara-acara khusus tertentu. Tari tradisional asal Sumbawa ini dibawakan sekelompok pria dengan parang dan tameng berbalut kain adat. Nah, dalam tarian ini, terdapat pekikan khas yang disebut Kakalak untuk membangkitkan semangat.
Kemudian, seperti yang kita ketahui… mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Sejak hadirnya era Kesultanan Banten, nuansa rohani sangat kental mewarnai keseharian masyarakat Banten. Ya… hal itu wajar karena Banten merupakan pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.
Islam merupakan agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Islam berarti penyerahan diri sepenuhnya kepda Tuhan. Pengikut ajaran Islam kita ketahui sebagai Muslim, artinya tunduk kepada Tuhan. Allah menurunkan firman-Nya kepada setiap insan manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya. Mereka meyakini kalau Nabi Muhammad S.A.W. adalah rasul terakhir yang diutus Allah ke dunia.
Diperkirakan, terdapat 1.250 juta sampai 1,4 miliar umat Muslim yang tersebar di seluruh dunia. Sekittar 18% hidup di Arab, 20% di Afrika, 20% di Asia Tenggara, dan 30% di Asia Selatan. Di negara kita sendiri pun dapat ditemui popoulasi Muslim dengan jumlah yang amat besar. Selain itu, ada Cina, Amerika Serikat, Eropa, Asia Tengah, dan Rusia. Pertumbuhan Muslim diyakini mencapai 2,9% per tahun. Perlu dicatat bahwa Islam merupakan agama yang pertumbuhan pemeluknya terhitung cepat di dunia.
Setiap agama-agama di dunia pasti memiliki tempat ibadahnya masing-masing. Seperti yang telah kita ketahui, tempat ibadah para umat yang beragama Islam adalah masjid. Mereka akan bersujud di hadapan Allah SWT guna berdoa. Selain itu, umat Muslim akan berkumpul bersama untuk melakukan salat fardlu lima waktu serta salat sunnat. Namun, selain digunakan untuk melakukan kegiatan ibadah sosial atau Muamalah, tahukah Anda bahwa terdapat masjid yang dijadikan sebagai tempat rekreasi atau wisata? Ya…. Sebut saja Masjid Seribu Pintu.
Masjid Seribu Pintu merupakan bukti nyata keagungan Allah di zaman yang semakin berkembang dari hari ke hari ini. Masjid yang sangat unik dari segi struktur dan bangunannya ini sempat dikunjungi oleh jalansutra pada awal 2004. Berlokasi di Kampung Bayur, Priuk Jaya, Jatiuwung, Kabupaten Tangerang, Banten, masjid ini beridiri di atas tanah seluas 1 hektar.
Untuk menjangkaunya, kita harus memasukki pedesaan dengan jalan sempit yang berliku-liku. Mungkin hanya muat untuk satu mobil dan satu motor. Butuh beberapa menit untuk sampai di Masjid Seribu Pintu dari pusat Kota Tangerang.
Pada paper ini akan dibahas mengeni seluk-beluk Masjid Seribu Pintu yang belum diketahui masyarakat, keunikannya yang tak dimiliki tempat ibadah lain, sejarahnya, sampai kaitan budaya yang ada di sekitar Masjid Seribu Pintu tersebut.
***
Masjid Seribu Pintu yang pada awalnya bernama Masjid Nurul Yakin merupakan salah satu objek wisata terkenal yang ada di Tangerang. Disebut Masjid Seribu Pintu karena memiliki begitu banyak pintu di dalamnya. Bahkan, pengelola masjid pun tidak tahu persis berapa jumlah pintu yang ada di sana.
Didirikan oleh seorang warga keturunan Arab pada 1978 bernama Al-Faqir yang merupakan murid dari Syekh Hami Abas Rawa Bokor. Warga sekitar memberikan gelar kepadanya, Mahdi Hasan Al-Qudratillah Al-Muqoddam sebagai rasa hormat telah mendirikan masjid yang begitu megah. Al-Faqir pun juga telah membangun masjid dengan keunikan serupa di daerah Karawang, Madiun, dan beberapa kota lain di Indonesia.
Pembangunan tempat ibadah bagi umat Muslim ini tidak memiliki desain khusus. Tidak ada juga desain yang menampilkan corak arsitektur tertentu. Pintu gerbang yang terdapat di sana sangatlah ornamental dan mengikuti ciri arsitektur zaman Baroque juga arsitektur Maya dan Aztec.
Pada Senin, 1 Oktober 2012 yang lalu, kelompok kami yang semuanya beranggotakan perempuan pergi mengunjungi Masjid Pintu Seribu untuk melakukan observasi sebagai pengajuan nilai Ujian Tengah Semester. Sempat tersasar beberapa kali karena kami belum tahu arah pasti menuju tempat wisata tersebut. Terlebih lagi, waktu itu adalah kali pertama bagi kami mendatangi kawasan yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya.
Dari Gading Serpong, kami menempuh waktu sekitar satu jam dan sampai di Masjid Seribu Pintu pada pukul satu siang. Takjub rasanya kami melihat suatu bangunan megah dengan arsitektur bangunan yang cukup unik dan menarik untuk diamati.
Hari Senin itu nyatanya tidak terlalu ramai. Hanya terdapat beberapa pengurus masjid yang berlalu-lalang di sekitar masjid. Warga yang tinggal di daerah sana juga tidak terlihat aktivitasnya. Kami pun menyambangi objek wisata tersebut sembari mengabadikan momen-momen menarik yang ada di sana.
Yang menarik dari Masjid Nurul Yakin atau Masjid Seribu Pintu ini adalah banyaknya pintu yang tak terhitung jumlahnya. Pada mulanya, sebutan Masjid Seribu Pintu ini diberikan oleh seorang wartawan majalah yang kebetulan datang berziarah ke tempat itu pada 1988. Ia hendak meliput seluk-beluk Masjid yang memiliki pesona tiada tara tersebut.
Sejak liputan wartawan tersebut diketahui khalayak luas, lantas banyak orang yang datang karena penasaran dengan tempat ibadah yang memiliki luas tanah sebesar 6.375 m2. Karena pintu yang jumlahnya sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya, wartawan majalah tersebut menyebutnya sebagai Masjid Pintu Seribu, Penamaan tersebut terkenal hingga sekarang oleh seluruh masyarakat di seluruh pulau.
Kemudian, ketika kita memasukki gerbang utamanya, ada banyak kaligrafi Al-Quran di setiap dinding yang semakin menunjukkan keislamian dari bangunan tersebut. Kaligrafi tersebut dapat kita temui di seluruh dinding Masjid Seribu Pintu ini. Selain kaligrafi, ada gambar para Wali Songo dan juga gambar-gambar yang menunjukkan asal-usul Masjid Seribu Pintu ini.
Pengurus masjid ini ternyata ada banyak dan mereka pun tinggal di dalam masjid tersebut. Ada pintu-pintu lain di dalam masjid yang bentuknya menyerupai pintu rumah biasa. Nyatanya, di dalam sanalah para pengurus masjid itu tinggal. Rasanya seperti masjid dan rumah menjadi satu tempat bagi mereka.
Pengurus masjid ini ternyata ada banyak dan mereka pun tinggal di dalam masjid tersebut. Ada pintu-pintu lain di dalam masjid yang bentuknya menyerupai pintu rumah biasa. Nyatanya, di dalam sanalah para pengurus masjid itu tinggal. Rasanya seperti masjid dan rumah menjadi satu tempat bagi mereka.
Di dalam tempat ibadah ini pula bisa kita temui tempat wudhu wanita, tempat wudhu pria, dan banyak ruangan untuk beribadah. Di bagian belakang masjid dekat dengan taman belakang, terdapat ruang salat di mana terdapat bedug, mimbar, jam, dan sajaddah. Ternyata, ruang ibadah tersebut menyatu dengan ruangan terbuka di mana terdapat makam sang pendiri masjid unik tersebut. Di sekitar makam, terdapat dua tasbih berukuran besar dan beberapa buku rohani di sekitarnya. Ternyata, ia telah berusaha mendirikan Masjid yang serupa di kota lain seperti di Sukabumi, Bogor, Bengkulu, Madiun, dan Karawang.
Pembangunan tersebut menggunakan uang sendiri dan bantuan dari penduduk sekitar. Hingga saat ini, bangunan tua tersebut masih terus dibangun walaupun secara bertahap. Bisa kita buktikan dari dinding-dinding masjid yang masih berbentuk tumpukkan bata dan belum dicat. Ada juga fondasi bangunan yang belum selesai. Tembok-tembok yang kotor menunjukkan kalau masjid ini tidak terawat dengan baik. Padahal, Masjid Seribu Pintu merupakan objek wisata yang seharusnya bisa menajdi daya tarik tersendiri bagi masyarakat di seluruh Indonesia, bahkan mancanegara.
Pada mulanya, tujuan dari pembangunan Masjid Seribu Pintu ini hanyalah untuk membangun sebuah masjid dengan konsep yang berbeda dibandingkan dengan masjid lain. Pintu dan lorong dengan jumlah banyak, ditambah suasana yang sengaja digelapkan guna mengingatkan kembali manusia akan alam kubur menjadi ciri khas tersendiri yang dimiliki.
Kami pun menyempatkan diri untuk memasukki Ruang Ziarah yang berada di bagian luar masjid. Kami harus berjalan memanjang seperti ular ke belakang dan saling memegang pundak teman kami. Gelap gulita. Tidak ada cahaya sedikitpun yang ditangkap oleh kedua mata kami. Berbekal tuntunan dari pemandu kami yang ternyata merupakan putra ketiga dari Al-Faqir dan dua senter kecil di genggaman, kami berusaha menyusuri lorong sempit berbatu yang sangat gelap.
Rasa takut kerap menghampiri kami. Kami berjalan terburu-buru mengikuti pemandu kami hingga akhirnya kami sampai di ruang ziarah. Pengap… panas… sempit… dan gelap. Itulah yang sungguh-sungguh dirasakan. Memang benar, pintu yang kecil dan lorong yang sempit tanpa pencahayaan itu menyadarkan kami akan perjalanan hidup yang memang tak mudah. Lika-liku harus terus dilalui guna mencapai tujuan di masa mendatang. Perjalanan yang panjang dan gelap membuat kami merasakan bagaimana rasanya di alam kubur nanti, walaupun kami tahu kalau yang kami rasakan belum seberapa dibandingkan dengan yang aslinya. Kami hanya bergidik ngeri.
Lalu, tibalah kami di suatu ruangan berubin putih bernama Ruang Tasbih. Di sini, kami banyak bertanya kepada pemandu kami. Sayangnya, narasumber kami tidak berkenan kalau mukanya kami rekam sehingga dengan terpaksa kami hanya merekam suaranya saja. Begitu banyak pertanyaan yang kami lontarkan karena kami penasaran dengan keunikan dan keindahan Masjid Seribu Pintu tersebut.
Biasanya, ruang tasbih tersebut digunakan untuk berdoa, bertasbih, dan merenung. Perenungan dapat dilakukan setiap hari dengan waktu yang tak terbatas. Di dalam ruang tasbih tersebut, terdapat beberapa ruang bersekat yang membentuk ruangan seperti mushola. Luasnya sekitar 4 meter. Ruang tersebut diberi nama Fathulqorib, Tanbihul-Algofilin, Safinatul-Jannah, Fatimah, dan lain-lain. Meskipun bangunannya yang sudah tua, tetapi masih layak untuk disinggahi oleh para wartawan maupun wisatawan. Semua lorong itu menuju pada ruang terbuka yang mirip stadion sepak bola yang biasanya dilakukan untuk salat berjamaah.
Di salah satu ruang, terdapat sebuah tasbih berukuran besar yang bersubstansi kayu dengan diameter 10 sentimeter. Pada 99 butir tasbih itu tertuliskan Asmaul Husna. Ruang tersebut biasa digunakan Al-Faqir untuk berdzikir. Katanya, tasbih tersebut merupakan yang terbesar di Indonesia.
Biasanya, orang yang datang untuk berziarah diajak untuk berdoa bersama di Ruang Tasbih tersebut. Mungkin, hal ini merupakan perjalanan dan pengalaman spiritual yang tidak ditemui di tempat lainnya. Sungguh pengalaman yang berkesan.
Keunikkan lain yang bisa ditangkap dari Masjid Seribu Pintu ini tampak ornamen dengan angka 999 yang akan sangat sering kita temui. Mungkin, kita akan bertanya-tanya apa maksud dari angka 999 tersebut sebab kkita bisa menemuinya di pintu gerbang, dinding, tembok, pintu, speaker, guci air, bahkan kotak amal. Angka 99 berarti Asmaul Husna (nama-nama baik Allah) dan angka 9 lainnya merupakan jumlah dari para Wali Songo, yang terdiri dari Sunan Gresik, Sunan Amper, Sunan Derajad, Sunan Bonang, Sunang Klaijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.
Ada kabar beredar yang menyebutkan bahwa sejumlah ruangan di Masjid Seribu Pintu ini memiliki daya tarik magis, terutama ketika doa-doa dilantunkan di dalam ruangan tersebut. Mushola yang terdapat di dalam masjid pun digunakan untuk Tawsul Dzikir dan pengajian rutin. Masjid tersebut diyakini sebagai salah satu tempat penyebaran agama Islam. Penyebarannya dilakukan dengan membagikan sembako untuk fakir miskin dan anak yatim piatu.
Biasanya, Masjid Seribu Pintu ini ramai dikunjungi pada hari Minggu dan liburan, terutama saat bulan Haji. Masjid ini juga sering mengadakan acara, terutama untuk merayakan hari Idul Fitri, Maulid Nabi, Idul Adha, Bulan Muharam, Rajab, dan tentunya Sholat Ied. Di sekitar Masjid seribu Pintu, terdapat beberapa masjid lainnya yang digunakan untuk sembahyang.
Pada Jumat, 26 Oktober 2012 yang lalu, bertepatan dengan Perayaan Idul Adha, kami kembali mengunjungi Masjid Seribu Pintu ini dan mengamati apa yang dilakukan orang-orang di sana. Pada pukul 7 pagi, dilakukanlah salat Ied di Masjid Seribu Pintu, akan tetapi, masjid tersebut hanya digunakan khusus oleh wanita, sedangkan pria salat di masjid lain yang tak jauh dari sana.
Setelah salat, dilakukan pemotongan kurban, yakni 3 kambing. Kemudian, dibagikan kepada 70 warga sekitar. Kami sempat mengikuti Pak Basri, salah satu panitia yang bertugas membagikan hewan kurban tersebut untuk berkeliling ke rumah-rumah warga. Ternyata, mereka lebih memilih untuk mendatangi rumah satu per satu dan membagikannya kepada mereka dibandingkan menggunakan sistem kupon di mana warga datang sendiri untuk mengambil bagiannya. Mengapa? Karena untuk menghindari ricuh antarwarga sehingga para panitia memutuskan untuk membagi-bagikan hewan kurban tersebut secara langsung.
Setelah salat, dilakukan pemotongan kurban, yakni 3 kambing. Kemudian, dibagikan kepada 70 warga sekitar. Kami sempat mengikuti Pak Basri, salah satu panitia yang bertugas membagikan hewan kurban tersebut untuk berkeliling ke rumah-rumah warga. Ternyata, mereka lebih memilih untuk mendatangi rumah satu per satu dan membagikannya kepada mereka dibandingkan menggunakan sistem kupon di mana warga datang sendiri untuk mengambil bagiannya. Mengapa? Karena untuk menghindari ricuh antarwarga sehingga para panitia memutuskan untuk membagi-bagikan hewan kurban tersebut secara langsung.
Di sisi yang bersebelahan, menurut tradisi Islam, wajib pula dilakukan salat Jumat oleh para pria. Pada pukul 12 siang, para warga sudah berkumpul di masjid dan siap mengikuti salat Jumat tersebut. Ternyata, salat Jumat tidak dilakukan di Masjid Nurul Yakin, tetapi di masjid lain ada di kawasan tersebut.
Pada perayaan Idul Adha tersebut, ternyata diadakan pemotongan sapi seusai salat Jumat pada pukul 1 siang. Para warga, khususnya lelaki keluar rumah dan ikut membantu proses pemotongan kurban tersebut. Sapi berwarna putih itu digiring menuju rumah belakang warga di mana terdapat tanah yang agak lapang. Sapi tersebut diikat kepala dan kakinya, lalu digulingkan hingga jatuh ke tanah. Sebelum disembelih, diucapkanlah serentetan doa-doa hingga akhirnya sapi itu dipotong. Suasana panas dan terik nyatanya tak menghalangi mereka untuk merayakan kebersamaan dalam Hari Raya Idul Adha. [CONTOH END]
No comments:
Post a Comment