Pages

Friday, January 18, 2013

Their Culture Their Village , Kampung Naga

Nama : Ayu Nofi Liana
NIM   : 11140110169
Kelas : F-1

Jem udah hampir jem 03.00 dan perjalanan kita dimulai pada tanggal 22 Desember 2012 dengan menggunakan dua mobil dan jumlah anggota yang pergi adalah 17 orang. Kita memutuskan untuk pergi subuh-subuh agar waktu kita untuk observasi di Kampung Naga tidak terbuang banyak. Lama perjalanan untuk sampai ke Tasikmalaya adalah 6 jam tapi jika kena macet dapat mencapai 8-10jam. Tapi karena kita perginya ramai-ramai, perjalanan yang memakan waktu lama ini menjadi sangat menyenangkan karena kita satu sama lain saling bercanda dan bernyanyi-nyanyi.

Saya memutuskan untuk melakukan observasi ke Kampung Naga karena Kampung Naga memang masih tradisional dan budayanya masih memegang kuat adat istiadat yang dianut masyarakatnya. Apalagi budaya Kampung Naga masih belum seutuhnya tersentuh budaya modern sekarang ini. Struktur bangunan, kepercayaan, mata pencaharian, dan tradisi kampung inilah yang menjadi suatu keunikkan bagi saya. Karena saya lebih ingin melakukan pendekatan observasi dengan masyarakat dan budayanya maka saya dan teman-teman saya memutuskan untuk tinggal 2hari 1malam di kampung tersebut.

Kampung Naga terletak di desa Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat. Luas perkampungan ini 1.5Ha dan ada 100 bangunan. Di kampung Naga ini ada 108 kepala keluarga dan terdapat 314 jiwa orang. Lokasi kampung naga sendiri berbatasan dengan: sebelah Timur dan Utara berbatasan dengan sungai Ciwulan dan sebelah Barat berbatasan dengan  hutan keramat (leuweng keramat).


Then, THE STORY is……


Selama perjalanan enam jam lamanya, sampailah saya di Kampung Naga. Ketika turun dari mobil, terdapat tugu yang menandakan bahwa kita sudah sampai di Kampung Naga, eits..tapi jangan senang dulu karena  untuk menjangkau kampung naga hanya bisa berjalan kaki dan menuruni tangga 439 tangga. Konon katanya jumlah anak tangga yang dihitung per-tangga berbeda-beda tidak selalu sama jumlahnya. Saya juga bingung kenapa bisa seperti itu, lalu saya mencoba menghitung dalam keadaan ketika turun dan naik, dan ternyata benar jumlah kedua nya berbeda. Hal ini bukan dikarenakan adanya hal mistis tapi mungkin karena perjalanan yang membuat saya lelah sehingga saya sudah tidak konsentrasi lagi untuk menghitung maka itu jumlah nya selalu berbeda.

Tugu Kujang Pusaka
Menuruni tangga untuk mencapai Kampung Naga
Saya berbicara kepada Mang No (pemandu wisata kita) apa masyarakat kampung Naga tidak lelah selalu naik dan turun tangga ini, apalagi masyarakat selalu beraktifitas di luar kampung naga ini. Mang No bilang kalau masyarakat sini sudah terbiasa, lagipula dengan naik atau turun tangga ini dapat melatih diri sesorang karena seseorang itu jangan mau enak saja ketika pada saat turun tapi juga harus bersusah payah ketika pada saat naik. Dengan mendengar ini benar juga perkataan Mang No bahwa untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan harus didasari dengan perjuangan.

Mang No
Sampailah saya di kampung Naga ketika sudah melewati tangga tersebut. Betapa asri nya kampung ini, benar-benar masih suasana desa sekali disini dan saya merasakan cuaca yang menyejukkan. Terlihat keindahan yang bagus dan masih alami yang biasanya saya lihat hanya di televisi. Banyak orang berlalu lalang, meliputi masyarakat yang sedang bekerja maupun orang-orang yang datang dari luar kampung yang ingin berwisata di kampung ini. Banyak juga anak-anak sekolahan dan anak kuliah bahakan sampai bule-bule yang datang untuk melihat kampung Naga ini, ternyata kampung ini benar-benar sungguh terkenal dalam kebudayaannya.


                                                    


Dari pertama kali sampai saya dapat melihat deretan-deretan rumah yang tersusun berurutan dan rumah-rumah tersebut saling berhadap-hadapan. Bentuk semua rumah pun sama yaitu selalu ada dua bagian yaitu pintu masuk utama dan sebelahnya lagi pintu masuk untuk bagain dapur. Semua rumah di Kampung Naga juga terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar seperti ijuk dan tidak diperbolehkan terbuat dari dinding atau beton. Pemasangan listrik juga tidak ada di kampung ini jika pemasangan listrik tidak rapih takut terjadi korsleting dan kebakaran apalagi ditambah lokasi Kampung Naga yang jauh dari gambir pemadam kebakaran. Tidak adanya listrik menjadikan masyarakat dapat hidup lebih sederhana karena tidak terpengaruh dari dunia luar seperti adanya televise.

Dua bagian pintu yang bersebelahan
Posisi rumah yang saling berhadapan
Semua rumah di Kampung Naga tidak memilik kursi dan meja karena masyarakat beranggapan bahwa semua manusia itu sederajat jadi jika ada tamu yang datang maka akan duduk semua di lantai kalau tidak pasti ada yang duduk di kursi dan ada juga yang dibawah. Perabotan untuk memasak pun juga masih terbilang tradisional masih menggunakan kayu bakar dan tungku. Setiap rumah tidak memiliki kamar mandi sendiri, kamar mandi disediakan di setiap sudut rumah tersebut. Semua aktifitas dari mandi, buang air kecil dan besar, dan mencuci semua dilakukan di kamar mandi bersama. Kamar mandinya pun juga masih tradisional tidak seperti kamar mandi pada umumnya dan airnya mengalir langsung dari jalur bambu yang sudah dibuat. Terdapat dua saluran air yaitu saluran air bersih dan saluran air sungai.

Dapur yang masih sederhana

Kamar mandi yang terbuat dari bambu
Yang saya perhatikkan ketika sedang keliling kampung ini adalah setiap pintu rumah pasti ada sebuah gantungan. Saya dijelaskan oleh Mang No bahwa gantungan tersebut disebut Tolak Bala yang terbuat dari opak dan dupi yang dipercayai untuk keselamatan setiap rumah.

Tolak Bala
Setiap para wisatawan yang berkunjung sangat diharapkan untuk meminta izin kepada sesepuh kampung. Menurut saya hal ini untuk membuat kami para wisatawan untuk bersikap sopan dengan meminta izin bahwa kita akan melakukan observasi di kampung ini.

Di Kampung Naga memang berbeda dengan budaya luar sana karena disini terdapat dua pimpinan yaitu pimpinan formal dan nonformal. Pimpinan formal terdiri dari kepala dusun dan pak RT dan pemilihan ini dipilih secara demokrasi oleh masyarakat. Masa jabatan juga terbilang lama yaitu 5-6 tahun. Tugasnya adalah menyampaikan pemerintahan dari atasan sampai ke masyarakat.

Pimpinan nonformal terdiri dari tiga orang, yaitu Pak Kunsen yang tugasnya memimpin ziarah ke makam, kemudian Pak Punduh yang tugasnya mengayomi warga, lalu yang terakhir pak Lebe yang mengurus jenazah yang meninggal sampai menguburkan dan sebagai sarana keagamaan. Masa jabatan ketiga pimpinan nonformal ini adalah seumur hidup atau semampunya. Pimpinan ini terpilih karena memang keturunan nenek moyang. Jika suatu saat salah keturunan tidak memiliki anak maka pergantian pimpinan ini dapat digantikan dengan saudara keturunan tersebut yang memiliki anak.

Pak Punduh
Kebanyakkan masyarakat Kampung Naga menggunakan bahasa Sunda, tidak terlalu lancar menggunakan bahasa Indonesia. Pekerjaan utama masyarakat adalah bertani dengan melakukan penanaman padi setahun dua kali yang disebut dengan Janli yaitu penanaman dilakukan pada bulan Januari dan bulan July. Disamping itu, tidak hanya bekerja sebagai petani tapi masyarakat kampung Naga juga membuat kerajinan tangan dari bambu; berternak biri-biri, kambing, kerbau dan ikan.



Ikan-ikan tersebut juga dapat digunakan untuk melakukan pengobatan. Tidak hanya masyarakat dalam Kampung Naga yang menggunakan tapi banyak juga wisatawan yang melakukan pengobatan ini dengan menyemplungkan kakinya kedalam kolam. Kita juga dapat memberi makan ikan-ikan tersebut dengan makanan ikan yang sudah disediakan hanya membayar Rp.1000 saja.

 
















Kesenian yang terkenal di Kampung Naga ada tiga yaitu angklung, kembang-kembung, dan arinding. Tetapi alat music arinding ini yang menurut saya sangat unik dan khas. Baru pertama kali saya melihat dan mendengar alat music ini. Cara memainkannya dengan menaruh alat music tersebut di mulut kita lalu di pukul-pukul sisi bagian kanan. Hanya orang-orang yang sudah ahli yang dapat memainkannya sehingga dapat menimbulkan nada yang tidak sumbang salah satunya yaitu Pak Yusup Abah Arinding.

Arinding

Pak Yusup Abah Arinding

Tidak hanya para wisatawan yang datang untuk melihat keindahan Kampung Naga ini tapi banyak juga para penjual makanan yang berasal dari luar kampung ini datang untuk berjualan karena mereka melihat adanya peluang untuk mencari nafkah. Maka itu kita tidak perlu takut jika lapar di waktu senggang, cukup berjalan kaki kearah luar kampung maka kita dapat menemukan banyak penjual yang sedang berjualan. 



















Untuk pengobatan di kampung ini yang diutamakan adalah obat-obat tradisional terlebih dahulu tapi jika sudah mendesak atau sakit semakin parah baru pergi ke puskesmas atau dokter. Masyarakat kampung Naga tahu banyak biji-bijian yang dapat menyembuhkan sakit. Salah satunya biji ini yang saya coba, rasanya pahit pedas mint dan dapat langsung dimakan. Pertama bijinya tersebut kita buka terlebih dahulu kulitnya lalu isinya kecil berwarna putih ke pink-an. Kata Mang No, biji ini dapat menyembuhkan sakit pusing.

Biji-bijian tradisional
Tidak hanya dari biji-bijian tapi obat tradisional juga dipercaya berasal dari hewan seperti belut.

Belut yang dijadikan obat
Belut dipercaya dapat menyembuhkan sakit, tapi bagi orang yang tidak sakit boleh juga memakan belut ini. Belut yang sudah ditangkap direndam diair bersih seharian agar kotoran-kotoran yang menempel di belut tersebut hilang. Belut ini tidak dibunuh dan dimasak tapi langsung ditelan hidup-hidup. Masyarakat kampung Naga mempercayai bahwa kita tidak boleh membunuhnya terlebih dahulu.

Lalu bagi yang melahirkan lebih diutamakan menggunakan dukun beranak baru dibantu oleh bidan untuk melaksanakan pelahiran. Salah satunya nenek yang saya tinggali rumahnya bersama teman-teman saya. Beliau ini selain bekerja di sawah membantu anak laki-lakinya, beliau juga membantu dalam proses melahirkan. Karena nenek bekerja dari pagi sampai sore maka kita mengobrol dan diurusi dengan cucu nenek yaitu ibu Cucu dan kedua anak-anaknya yang masih kecil. Ketika makan malamnya baru kita bertemu dengan nenek yang mempunyai rumah, Nenek berbincang-bincang dengan saya dan teman-teman saya yang tinggal di rumahnya bahwa selama ini banyak sekali orang-orang yang pernah menginap di rumah beliau salah satunya orang Papua dan seorang bidan. Nenek juga bercerita bahwa terkadang beliau sangat kesepian jika orang yang menginap di rumahnya sudah pulang. 

Nenek yang tinggal bersama saya dan teman-teman

Pernikahan di kampung Naga juga tidak harus dilakukan sesama warga Kampung Naga, orang dalam dapat melakukan pernikahan dengan orang luar kampung. Jika setelah menikah memutuskan untuk tinggal di dalam kampung Naga maka agama yang dianut adalah agama Islam, tidak boleh diluar agama tersebut karena semua warga di kampung ini menganut agama Islam. Tetapi setelah menikah boleh keluar dari kampung ini dengan syarat calon mempelai dari pihak luar ketika mengambil istri atau calon suaminya harus mengikuti jejak langkah dikampung ini (adat istiadat. Untuk masalah poligami di kampung ini, tentu diperbolehkn tapi di sini belum ada yang poligami karena ketika seseorang sedang mencari jodoh, mereka mencari pasangan sejati.

Menurut Rogers dan Steinfatt dalam buku yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, kepercayaan adalah suatu sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran, ingatan, dan interpretasi terhadap suatu peristiwa. Karena kampung Naga tergolong masih masyarakat tradisional tentu ada pantangan yang harus dilakukan baik warga maupun wisatawan yang datang yaitu pada hari selasa, rabu, sabtu , dan pada bulan safar dan bulan siam tidak diperbolehkannya melakukan ziarah makam, dan tidak boleh menceritakan silsilah kampung naga. Kegiatan seperti menikahkan, membangun rumah, kunjungan kampung Naga masih diperbolehkan.

Ada juga pantangan yang harus dilakukan yaitu:
  1. Ketika tidur, arah kaki tidak boleh menghadap ke arah kiblat
  2. Pada saat buang air kecil tidak boleh juga menghadap arah kiblat
  3. Kaki tidak boleh selonjoran menghadap arah kiblat
  4. Pada saat jem Sembilan malam, tidak boleh ada yang berkeliaran lagi di luar rumah
  5. Ngadu yang artinya mengadu makhluk hidup
  6. Nyawadon yang artinya bermain wanita
  7. Nyamadat yang artinya berjudi
Alasan kenapa tidak boleh mengarah ke Kiblat karena umat Islam melaksanakan ibadah sholat ke kiblat maka itu kita menghargainya dengan kaki tidak  mengarah ke kiblat dan buang air kecil tidak ke arah kiblat. Kalau kita melanggar pantangan tersebut dengan tidak sengaja, maka tidak apa-apa. Tetapi jika kita sudah mengetahui tapi tetap saja dilanggar maka akan pelanggar tersebut akan mendapatkan sanksi  yang dipercayai warga kampung Naga yaitu Amanat, Wasiat, dan Akibat.

Ada beberapa tempat larangan yang tidak boleh dikunjungi secara sembarangan, yaitu:
  1. Hutan larangan yang lokasinya berada di sebelah Timur sungai Ciwulan. Huta ini dipercaya berisi makhluk-makhluk halus. Jangankan para wisatawannya, warga Kampung Naga juga dilarang keras untuk menginjakkan kaki di hutan ini.
  2. Selanjutnya Bumi Ageung yang merupakan tempat makam para leluhur yang terletak di sebelah Barat kampung. Untuk memasuki wilayah ini tidak boleh sembarangan orang yang masuk, bahkan para keturunnya juga tidak boleh masuk secara sembarangan. Tempat ini dibatasi pagar dan jika kita ingin mengambil photo harus berjarak sekitar 15 meter.
Menurut Larry A. Samovar dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, cara pandang merupakan orientasi budaya terhadap Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, kehidupan, kematian, penyakit, dan isu filosofis lainnya mengenai keberadaan sesuatu. Saya diceritakan oleh Pak Punduh mengenai kehidupan di Kampung Naga bahwa selama kampung ini berdiri belum pernah terjadinya pertengkaran sesama kampung bahkan antar warganya sendiri karena warga kampung Naga mempercayai dan mempraktekkan cara pandang yang dipercayainya, yaitu:
  1. Sili Asah yang mempunyai arti saling menyayangi
  2. Sili Asih yang mempunyai arti saling memberi
  3. Sili Asuh yang mempunyai arti saling mengharg
  4. Silih Payungan yang mempunyai arti merangkul sesama
Yang saya dapat pelajari dari Kampung Naga ini bahwa setiap masyarakat di kampung ini dapat hidup rukun dan tentram tanpa adanya konflik. Kampung Naga lebih mengutamkan kesederhanaan dan hidup gotong royong. Bagaimana kampung ini tetap menjaga adat istiadat yang ditinggalkan nenek moyang dan juga pelestarian kerajinan tangan menjadi ciri khas kampung ini.

Tanpa adanya budaya modern yang masuk kampung ini tidak menjadikan kampung ini mengalami keterbelakangan. Masalah ini juga tidak dipeributkan oleh warga Kampung Naga bahwa budaya modern harus masuk ke kampung ini. Terhindar dari kepusingan dan hiruk pikuk kehidupan kota yang menurut saya sangat baik bagi masyarakatnya.

Saya merekomendasikan Kampung Naga ini sebagai suatu tempat untuk mempelajari kehidupan dan budaya sana bersama keluarga dan teman-teman. Boleh lah sekali-kali kita mengunjungi Kampung Naga ini, jangan hanya mau berlibur keluar negeri saja.

Terima kasih  :D



No comments:

Post a Comment