Pages

Sunday, January 20, 2013

Tanah Cirebon, Tanah Wali -- Novita Damayanti 1114010054 F1


Nama : Novita Damayanti
Kelas : F1
NIM : 1114010054



Bendera Pertama Cirebon

“CIREBON KOTA BERINTAN” begitulah slogan kota Cirebon, kota kecil yang berada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Cirebon berasal dari kata Cai (air) dan Rebon (udang), kota ini berada di pesisir utara Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta - Cirebon – Semarang – Surabaya. Kota ini jauh dari kata modern tetapi kota yang mandiri. Kota ini masih memiliki beberapa peninggalan yang unik dan memperkuat kota Cirebon sebagai kota yang berbeda dari kota yang lainnya. Cirebon merupakan kota para wali dikarenakan dahulu kala pernah ada wali yang tinggal di kota cirebon yaitu Sunan Gunung Jati yang menyebarkan agama islam di Cireboni. Sejarah kehidupan Sunan Gunung Jati saat ini masih menjadi sejarah yang sering dibahas di buku-buku sejarah. Sejarah itu ada di dalam keraton Kesepuhan yang merupakan keraton termegah dan masih dirawat hingga saat ini. Di dalam Keraton Kasepuhan pula ada bendera pertama kota Cirebon yang bergambarkan Macan Ali dengan tulisan syahadat Islam. Hal ini membuat saya semakin tertarik ingin mempelajari budaya sejarah Keraton Kasepuhan tersebut dan akhirnya saya memutuskan untuk datang ke Keraton yang fenomenal tersebut.


Keraton Kasepuhan didirikan oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II dengan gelar Panembahan Pakungwati I yang menggantikan tahta Sunan Gunung jati yang bersemayam di Dalem Agung Pakungwati. Keraton Kasepauhan dulunya bernama Keraton Pakungwati. Sekarang, Keraton Pakungwati berada di dalam Keraton Kasepuhan. Sayang, saya tidak boleh masuk ke dalam keraton kecil ini dikarenakan ada pantangannya, wanita dilarang masuk karena tidak muhrim, dan mengalami datang bulan. Kenapa masyarakat hingga saat ini mematuhi larangnnya? Yang saya pelajari adalah saling menghormati budaya orang lain adalah nomor satu di tempat ini. Sebagai penganut agama Islam, mereka memang harus menjaga jarak dengan lawan jenis agarterjauh dari nafsu tubuh.

Sifat yang terbuka membuat masyarakat dekat dengan sejarah Cirebon itu sendiri, namun masih sedikit orang yang ingin mengenal dan mempelajari budaya peninggalan leluhur kita, salah satunya adalah menghormati semua agama di dunia ini. Dilihat dari pengalaman sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia perbedaan budaya mengakibatkan perpecahan dan bahkan menimbulkan konflik. Bagi masyarakat Cirebon sendiri, masih banyak yang tidak mengerti bahwa dari zaman dahulu sudah diajarkan untuk menghargai budaya orang lain. Batu Tuju Manunggal merupakan bukti bahwa Keraton Kasepuhan mengajarkan hal yang baik. Batu Tuju Manunggal merupakan symbol dari satu keyakinan, satu kepercayaan, satu budaya, dan satu panutan, hal ini mengajarkan saya bahwa pendahulu kita mengajarkan untuk tetap bersatu. Adanya keramik-keramik dari Cina yang menempel pada dinding bangsal Pringgadani berceritakan tentang kehidupan nabi Nuh yang diambil dari kisah Kristiani. Cukup mengherankan. Bagaimana bisa budaya yang berangkat dari agama Islam terdapat benda seperti itu. Melalui bukti sejarah tersebut keraton Kasepuhan mencoba memberitahu kita bahwa kita harus menerima perbedaan dari agama lainSelain itu Sunan Gunung Jati menikahi Putri Ong Tien yang adalah keturunan Cina. Keterbukaan ini sudah ada sejak dahulu kala yang seharusnya terus dijaga agar kehidupan berjalan dengan baik.

Budaya menghormati perbedaan sudah sejak lama dilakukan oleh zaman kerajaan di Cirebon merupakan penghuni pertama kota Cirebon.  Budaya menghormati orang tua dan leluruh juga sangat kental di Keraton ini contohnya adalah kita tidak boleh sembarangan menginjak situs-situs peninggalan dari nenek moyang kita. Contohnya adalah Bangsal Panembahan. Bangsal ini tidak boleh diinjak oleh pengunjung, selain faktor realistis ada juga faktor mistiknya. Faktor realitisnya adalah lantainya sudah beratus-ratus tahun tidak diganti sehingga pihak Keraton takut adanya insiden berbahaya bagi pengunjung karena lantai yang sudah tua dan rapuh. Faktor mistiknya adalah, bangsal tersebut merupakan bangsal yang digunakan oleh raja untuk memimpin kerajaan dan di dibelakangnya ada tempat tidur raja yang apabila dia letih siang hari ia akan tidur di tempat tersebut. Masyarakat diajarkan untuk menghormati area orang tua sehingga tidak semua orang boleh menginjak tempat tersebut. Zaman dahulu yang kita ketahui bahwa anak-anak sangat takut dan menghormati orang tuanya sehingga tidak adanya pertentangan, seperti kasus perjodohan, dll. Anak-anak zaman sekarang sudah mengenal bagaiamana menentang orang tua sehingga semuanya ingin ia coba dan tidak menghargai orang tua.

Tujuan hidup haruslah baik, haruslah benar. Keraton Kasepuhan mengjarkan saya bagaimana bersikap apabila memiliki tujuan. Contohnya tidak semua tempat bisa saya jelajahi tanpa membersihkan hati saya terlebih dahulu. Saya harus cuci muka terlebih dahulu ketika saya ingin melihat gua sirna raga yang terkenal di Cirebon. Mungkin pada umumnya sebagian orang pernah mendengar  ada gua yang bisa membawa seseorang sampai ke tanah suci Mekah. Guanya ada di sini, di Keraton Kesepuhan. Gua Sirna raga inilah yang membawa Sunan Gunung Jati kemana pun dia mau. Gua ini dipercaya dapat membawa Sunan Gunung Jati ke tanah suci Mekah dan ketika beliau harus bersembunyi, dia akan masuk ke dalan gua tersebut dan akan muncul di Gua Sunyaragi yang areanya masih berada di kota Cirebon. Sebelum kita memasuki area tersebut, ada beberapa situs yang membuat saya tertarik. Ternyata ada sumur-sumur yang menghantarkan kita ke Sumur Agung yang zaman dahulunya digunakan untuk seseorang masuk ke agama Islam. Saya melewati tempat dimana kita harus membersihkan diri dan kemudian bertemu dengan Sunan Gunung jati untuk diajarkan apa itu agama islam dan kemudia bertapa sehari semalam di gua yang sekarang sudah ditutup dengan alasan takut digunakan oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Setelah saya sudah melewati situs tersebut, barulah saya masuk ke dalam Sumur Agung yang merupakan Sumur terakhir dalam proses penyucian diri. Ibaratnya ketika saya ingin bertemu dengan Sang Pencipta, saya harus dalam keadaan suci. Saya berkesempatan utuk memanjatkan doa di depan gua tersebut. Dilengkapi oleh Batu Kilan yang merupakan batu dimana Sunan Gunung Jati menjalankan ibadah sholat 5 waktu. 

Keraton Kasepuhan merupakan tempat ziarah bagi pihak yang masih percaya dengan budaya masing-masing yang masih memiliki khasiat. Batu yang ditaburi kembang itu adalah batu kilan tempat dimana sunan Gunung jati menjalankan ibadah sholatnya. Sungguh beruntung saya datang ke dalam Keraton Kasepuhan. Saya diajak oleh pemandu saya yang ternyata adalah abdi dalam dari Keraton Kasepuhan itu sendiri, nama beliau adalah Mas Parmin. Beliau menghantar saya ke area Kereta Pedati yang dulu kala di gunakan untuk membawa peti kemas milik sultan, kereta ini di tarik oleh 4 sapi bule, sapi bule adalah sapi putih yang berada di pekalongan. Kereta Pedati yang berada di Keraton Kasepuhan merupakan kereta duplikat, Kereta yang asli berada di kota Pekalongan. Hal ini menjadi keberuntungan kita karena tidak semua pengunjung dapat mengunjungi situ ini.
Bersama Tiara

Keberuntungan saya dalam tujuan pembelajaran hidup saya masih terus berlangsung. Saya bertemu dengan cucu keponakan dari Sultan yang sekarang yaitu Sultan Arief Natadiningrat. Ia bernama Raden Tiara Nurviana Dewi anak dari Ratu Eka Dewi Septiani yang merupakan keponakan dari Sultan yang sekarang. Perbincangan kami sangat singkat karena ia masih merasa malu apabila ditanya-tanya tentang keadaan keluarganya karena biasanya orang asli keturunan darah biru akan sulit mejawab karena meereka takut salah menjawab dan ingin dianggap seperti orang biasa. Kehidupan yang sederhana melingkupi keseharian mereka. Tiara sekolah di sekolah negeri biasa di Cirebon. Ia bersosialisasi selayaknya anak umur 15 tahun pada umumnya dan seperti orang tradisional, ia tidak menyukai berbelanja di mall, ia lebih senang bermain dengan temannya di wilayah keraton saja. Ia bertahan untuk mempertahankan budaya tradisional yang sudah lama menjadi bagian dari hidup keluarga besarnya. Walaupun keluarga keraton memiliki ekonomi yang tinggi, ia tetap menggunakan angkutan umum untuk pergi ke sekolah. Pada dasarnya, sejak dahulu kala sistem ekonomi kerajaan akan lebih tinggai ketimbang perekonomian rakatnya, dan hal ini sudah menjadi garisan sejak dahulu kala bahwa kerjaan pasti akan lebih kaya ketimbang masyarakatnya. Rezeki selalu saja ada jalannya untuk datang menghampiri mereka. Perbincangan menarik ini hanya berlangsung dengan cepat karena saya pun masih harus menjelajahi isi keraton ini.

Perjalanan saya terus berlangsung. Kami dihantar oleh Mas Parmin untuk mengunjungi Gunung Indra Kila yang merupakan tempat di mana Raja mengawasi rakyatnya. Saya memang dapat melihat beberapa situs dari ketinggian ini. Raja sangat peduli dengan perkembangan rakyat sehingga ia dulu sering berada di Gunung Indra Kila tersebut hingga saat ini juga masih aktif digunakan. Ketika Sultan memiliki waktu senggang ia akan mengunjungi Gunung Indra Kila sambil mengobrol dengan abdi dalamnya. Sultan sudah terbuka dengan bentuk demokratis dimana abdi dalam berhak bicara dan mencari solusi bersama-sama. 

Ketika saya melihat-lihat situasi yang ada di sana, saya bertemu dengan pemandu yang lain. Ia mengajak saya untuk berbincang di pinggir rawa yang cukup besar dengan pemandangan seperti ada di film laga dan background kerjaan zaman dahulu kala. Perbincangan kami diawali dengan rasa ingin tahu saya tentang sejarah keraton terbentuk, dan bagaimana sikap sultan kepada para pekerja di keraton. Para pekerja di keraton memiliki panggilan dan tugas masing-masing. Ada bagian kebersihan, juru kunci sejarah, dan ada bagian umum dimana ia diberi upah 35ribu rupiah per minggu. Mas Aji yang saya temui ini adalah bagian umum sama seperti Mas Parmin yang menjadi pemandu saya. Bagian umum ini merangkap bermacam-macam pekerjaan, mereka dapat ditempatkan di depan sebagai pemandu dan dapat di tempatkan di dalam sebagai orang yang mengurus keperluan sultan. Sultan bersikap sangat terbuka, beliau selalu bertanya bagaimana pendapat mereka dan selalu mengirim sms apabila ada sesuatu yang dibutuhkan. Budaya mereka sudah terbuka dengan adanya teknologi tetapi hanya sebatas pengetahuan tidak mengembangkannya. Mereka tetap mempertahankan budaya tradisionalnya. Teknologi menjadi fasilitas mereka bukan sebagai pegangan hidup mereka. 

Saya duduk santai di aula yang luas ditemani oleh rekan saya Arwinda Pritami Yahya, Mas Parmin, dan Mas Usman yang adalah ketua abdi dalam bagian umum. Mas usman adaalah kakak dari Mas aji yang tugasnya memberi perintah kepada bagian umum seperti Mas Parmin. Mas Parmin yang berumur 22 tahun memiliki pengalam pernah kabur dari tempat ini dikarenakan tidak percaya akan hidup bahagia ditamabah dengan uang saku hanya beberapa ribu rupiah saja. Namun ia kembali lagi, merasa Keraton ini adalah rumah bagi dia.

Kami dibocorkan tentang hal menarik di sini yaitu membuat nasi jimat yang dibuat hanya setahun sekali dan hanya dibuat ketika Maulud Nabi tiba. Nasi jimat ini berwarna putih dan merah, sayang sekali kami tidak bisa nasi tersebut, namun kami diajak ke lokasi dapur pembuatannya. Saya merasa terhormat karena tidak semua orang dapat memasuki situs ini. Di tempat ini juga ada tempat kerajinan kayu miliki Ratu Eka. Aura mistik yang kental membuat saya merinding di tempat ini. Saya hanya boleh melihat-lihat dari luar saja. Saya terkejut, di dapur ini tidak ada apa-apa tetapi mereka dapat membuat nasi jimat. Bagiamana cara membuatnya? hmmm... Hanya mereka yang tahu. 

Perjalanan saya pada hari ini sangatlah menyenangkan, saya mendapat pengalaman yang seru dan mengajari saya banyak hal. Budaya Keraton Kasepuhan mengajari saya bagaimana menghormati agama lain, yang seharusnya masyarakat umum tahu bahwa sejak dahulu kala menghormati dan hidup berdampingan dengan suku, ras, agama yang berbeda. Dibuktikan dengan pernikahan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien dari suku Cina yang tinggal di cirebon. Budaya menjaga sopan santun juga sangat di perhatikan. Wanita dilarang masuk ke dalam Keraton Pakungwati dikarenakan wanita tidak muhrim dan wanita mengalami dating bulan. Keraton Kasepuhan mengajari saya banyak hal. 

Mas Parmin dan Mas Usman
Abdi Dalam yang setia dan bersungguh-sungguh menjaga budaya keraton menginspirasi saya untuk menjaga budaya di mana saya tinggal. Hati yang bersih menjaga kita dari nafsu diri.Tidak ada perang manusia dengan manusia lagi, tapi perang dengan diri sendiri. Sebagai Generasi muda Indonesia, mengenal budaya bangsa sendiri adalah hal yang sulit. Budaya populer hadir di tengah-tengah kehidupan generasi muda yang membutakan mata hati kita. Keraton Kasepuhan menjadi saksi dimana kota Cirebon menghargai budaya lain, dan menerima perbedaan yang bisa menjadi panutan dalam hidup kita. Keluarga keraton yang terbuka membuat masyarakat Cirebon mudah mengenal asal usul kota cirebon namun rasa ingin tahu masyarakat mulai padam tentang budaya tradisional IndonesiaMelalui budaya kita akan mempelajari banyak hal, bukan hanya sejarah, tapi nasihat dari nenek moyang kita.

-- Novita Damayanti 11140110054 F1

1 comment: