Pages

Sunday, January 20, 2013

'Sang Sepuh' Keraton Kasepuhan

'Sang Sepuh' Keraton Kasepuhan

Nama   : Jessica Putri Leona S
NIM    : 11140110213
Kelas   : B1






SEJARAH

Nama dari Keraton Kasepuhan diambil dari kata ‘sepuh’ sesuai dengan kedudukan Keraton Kasepuhan yang merupakan keraton tertua di Cirebon. Keraton Kasepuhan merupakan salah satu pusat pengajaran Islam pada jaman dahulu. Keraton ini terpisah menjadi dua bagian, yaitu Keraton Pakungwati dan Keraton Kasepuhan. Keraton Pakungwati didirikan oleh Pangeran Walangsungsang yang merupakan putra dari Prabu Siliwangi. Pada masa itu, Cirebon masih merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Padjajaran, Prabu Siliwangi pun berasal dari Kerajaan Hindu Padjajaran tersebut. Kala itu, Prabu Siliwangi yang tertarik dengan ajaran agama Islam, kemudian keluar dari Kerajaan Hindu Padjajaran dan menganut agama Islam.
Awalnya Islam di Cirebon merupakan kaum minoritas, karena pada masa itu seluruh Indonesia dipengaruhi oleh Kerajaan-kerajaan Hindu Buddha yang tersebar di seluruh Nusantara. Sehingga pada masa itu, setiap orang belum memiliki kebanggaan atas identitas pribadi mereka yang beragama Islam.
Nama Keraton Pakungwati diambil dari nama puteri dari Pangeran Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana). Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengan Sunan Gunung Jati yang merupakan sepupunya sendiri, yang kemudian membangun Keraton Kasepuhan. Setelah menikah, Sunan Gunung Jati kemudian menjadi Sultan dari Keraton Kasepuhan tersebut. Sunan Gunung Jati juga merupakan bagian dari Wali Songo, maka Keraton Kasepuhan dijadikan tempat penyebaran dan pengajaran agama islam.
Selain Ratu Ayu Pakungwati, Sunan Gunung Jati juga memiliki beberapa istri lain, salah satunya yang cukup terkenal adalah Nyi Mas Ong Tien. Putri Ong Tien membawa cukup banyak pengaruh atas bangunan dan kebudayaan di Keraton Kasepuhan tersebut. Putri Ong Tien merupakan seorang putri dari salah satu kerajaan di dataran China, yang kala itu berkunjung ke Indonesia.
Dikisahkan bahwa Ayah dari Putri Ong Tien menemui Sunan Gunung Jati. Beliau menguji kesaktian Sunan Gunung Jati dengan meminta Sunan Gunung Jati menebak apakah Putri Ong Tien sedang mengandung atau tidak. Kesaktian Sunan Gunung Jati terbukti. Putri Ong Tien yang tertarik akan kharisma dari seorang Sunan Gunung Jati itupun akhirnya dinikahkan dengan Sunan Gunung Jati.

BUDAYA

Ada beberapa hal yang bisa kita soroti dari budaya di Keraton Kasepuhan baik masa lampau maupun masa kini. Dari sejarah dapat kita ketahui bahwa terbentuknya budaya Islam pada Keraton Kasepuhan diawali oleh Prabu Siliwangi yang adalah ayah dari Pangeran Cakrabuana. Beliau tadinya merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Padjajaran, namun kemudian beliau memisahkan diri dan memeluk agama Islam. Ketika hal itu terjadi terbentuklah sebuah identitas baru di antara identitas sosial yang identik dengan agama Hindu Buddha saat itu.
Seperti menurut Gardiner dan Komitzki, “identitas dilihat sebagai definisi diri seseorang sebagai individu berbeda, dan terpisah, termasuk perilaku, kepercayaan dan sikap.” Identitas tersebut bersifat dinamis, dan setiap orang dapat memiliki lebih dari satu identitas dalam pribadi mereka, tetapi yang terjadi ketika Prabu Siliwangi menganut agama Islam adalah beliau melepaskan identitas dirinya sebagai bagian dari penganut Agama Hindu dan kemudian membentuk suatu identitas diri baru sebagai pemeluk agama Islam. Kemudian dari identitas dirinya, hal tersebut berkembang menjadi sebuah identitas sosial yang menjadi pembeda antara kelompok sosial tertentu dengan kelompok sosial lain.
Namun sebelum identitas diri dari Prabu Siliwangi berkembang menjadi identitas budaya, dapat kita lihat adanya sebuah proses yang sudah dilewati terlebih dahulu hingga sebuah identitas pribadi dapat menjadi identitas budaya, yaitu proses penyebaran dan pewarisan budaya itu sendiri. Menurut pendapat beberapa ahli, sebuah budaya itu dapat menyebar karena proses-proses tertentu seperti, budaya itu dipelajari, budaya itu dibagikan, budaya diturunkan dari generasi ke generasi. Hal tersebutlah yang dilakukan oleh Prabu Siliwangi, Beliau menurunkan budaya dan kepercayaan yang ia anut kepada anak dan cucunya dan terus berlanjut seperti itu.
Selain itu pembuktian bahwa budaya itu dibagikan dan dipelajari, dapat kita lihat dari peranan Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Para Wali Songo membagikan dan mengajarkan ajaran dari agama Islam tersebut kepada setiap orang yang mereka temui dan bersedia untuk mendengarkan mereka, yang berujung pada hasil di mana budaya yang mereka ajarkan, mereka bagikan dan mereka turunkan dari generasi ke generasi menjadi suatu budaya yang utuh yang termasuk pula identitas sosial di dalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Charon dalam tulisannya, “Budaya adalah pewarisan sosial yang mengandung pandangan yang sudah dikembangkan jauh sebelum kita lahir, masyarakat kita, misalnya, memiliki sejarah yang melampaui kehidupan seseorang, pandangan yang berkembang sepanjang waktu yang diajarkan pada setiap generasi dan kebenaran dilabuhkan dalam interaksi manusia jauh sebelum mereka meninggal.” Dan semua hal dalam pewarisan budaya tersebut terwujud melalui komunikasi antar budaya sehingga dapat mengubah persepsi dan cara pandang seseorang akan suatu hal.
Keberhasilan Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam dan menjadikan Keraton Kasepuhan sebagai pusat penyebaran agama Islam tidak luput dari pengaruh identitas yang dinamis yang dimiliki oleh Wali Songo, seperti Sunan Gunung Jati yang pada dasarnya masih memiliki akulturasi budaya Hindu dan Islam, memudahkan dirinya untuk berinteraksi dengan orang yang beridentitas Hindu dan menarik mereka untuk memeluk agama Islam atau keberhasilan Sunan Gunung Jati dalam menjalin relasi dengan berbagai Negara seperti China, Mesir dan Eropa (dapat dilihat dari peninggalan sejarahnya), seperti yang dikatakan oleh Collier bahwa untuk dapat berkomunikasi secara efektif dalam situasi antarbudaya, identitas budaya yang diakui seseorang serta gaya komunikasinya harus sesuai dengan identitas dan gaya yang ditampilkan padanya oleh lawan bicaranya.
Dan ternyata hal ini pula yang saya rasakan ketika saya berkunjung ke sana. Setiap pengunjung di Keraton Kasepuhan Cirebon akan ditemani atau dipandu oleh pemandu yang merupakan ‘abdi dalem’ maupun ‘abdi luar’ keraton. Para pemandu tersebut umumnya tinggal di satu daerah khusus yang mayoritasnya adalah abdi dari Keraton Kasepuhan tersebut. Mereka akan memandu dan menemani setiap pengunjung Keraton Kasepuhan untuk berkeliling serta menghindarkan kita dari tempat-tempat yang tidak boleh dikunjungi oleh pengunjung umum.
Para pemandu tersebut juga menerapkan hal yang sama. Saat itu Mas Ferry (pemandu saya) berusaha menempatkan dan memproyeksikan dirinya sesuai dengan identitas yang saya proyeksikan kepada nya. Yang paling saya rasakan adalah karena Mas Ferry dapat melihat dari perawakan dan wajah saya dan teman-teman saya, bahwa kami berasal dari etnis Tionghoa, beliau selalu menyoroti semua hal yang berhubungan dengan etnis Tionghoa dalam Keraton Kasepuhan ketika memandu kami, seperti menunjukkan keramik-keramik yang berasal dari China hingga berulang kali bercerita dan menekankan pada kisah Putri Ong Tien yang merupakan Putri dari Negara tirai bambu tersebut. Hal itu tanpa sadar memunculkan ketertarikan dan simpati saya terhadap apa yang sedang ia jelaskan. Beliau berhasil menempatkan dirinya dan berkomunikasi dengan baik kepada saya dengan kultur yang berbeda baik dari segi etnis, kepercayaan, maupun persepsi.
Kehidupan di Keraton Kasepuhan pada masa dahulu telah banyak membuktikan bahwa sebuah komunikasi antar budaya dapat berlangsung dengan baik sejak dahulu kala, bahkan ketika masyarakat belum mengenal kajian ilmu komunikasi antar budaya tersebut. Seperti perkawinan anatara Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien, yang merupakan perkawinan antar budaya berhasil menyatukan dua budaya tanpa adanya bentrokan budaya di dalamnya. 


AKULTURASI

Di dalam area wilayah Keraton Kasepuhan juga terdapat rumah tinggal dari Sultan Sepuh (Sultan dari Keraton Kasepuhan), serta keluarga dari Sultan. Mungkin ketika kita harus membayangkan tempat tiggal seorang Sultan, kita akan terbayang sebuah tempat yang indah dan mewah, namun hal tersebut sepertinya tidak berlaku untuk Keraton Kasepuhan. Baik rumah kediaman Sultan maupun rumah dari keluarga Sultan sangatlah sederhana dan tidak mencolok.
Bagian depan dari komplek Keraton Kasepuhan adalah Alun-Alun, Masjid Agung, dan Siti Inggil. Namun tampaknya kali ini saya kurang beruntung. Ketika saya datang ke sana, beberapa bangunan dan bagian dari komplek Keraton Kasepuhan ini sedang direnovasi dan dipugar, beberapa diantaranya adalah Masjid Agung, Siti Inggil, Musium Benda Kuno, dan Musium Kereta Barong.
Bangunan Siti Inggil sangat menampilkan akulturasi yang terjadi pada Keraton Kasepuhan tersebut. Gapura atau gerbang depan pada Siti Inggil mirip sekali dengan gapura-gapura pada pura yang sama-sama dibangun dengan menggunakan bata merah. Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa Keraton Kasepuhan dibangun masih berdasarkan atau terpengaruh dari budaya sebelumnya yaitu budaya Hindu.
Dari Siti Inggil, jika kita berjalan masuk ke dalam pusat keraton, kita akan melewati Kalaman Kemandungan dan Langgar Agung. Kalaman Kemandungan adalah tempat singgah atau kalau sekarang kita menyebutnya dengan tempat parkir bagi pengunjung-pengunjung keraton sejak jaman dahulu, bahkan sampai sekarang pun, fungsi dari Kalaman Kemandungan itu tidak berubah. Halaman tersebut menjadi lahan parkir untuk tamu istimewa  Sultan (bukan pengunjung wisata biasa). Selain tempat parkir, di Kalaman Kemandungan tersebut kita juga dapat menemukan sebuah sumur, yang konon katanya digunakan sebagai tempat mencuci peralatan perang setiap tanggal 1-10 Muharam jaman dahulu. Dulu di atas tanah Kemandungan ini berdiri sebuah bangunan Kemandungan yang digunakan untuk menyimpan peralatan perang, namun sekarang bangunan Kemandungan tersebut sudah tidak ada.
Di seberang Kalaman Kemandungan, ada bangunan yang dinamakan dengan Langgar Agung, atau musholah. Musholah tersebut digunakan sebagai tempat sholat bagi orang-orang dalam keraton, di depan langgar agung, masih berdiri dengan gagah, bedug yang dinamakan Sang Magiri, yang sudah ada di sana sejak awal Keraton ini didirikan, yang konon katanya kulit pada bedug tersebut belum pernah diganti hingga sekarang. Langgar Agung hingga sekarang masih dipergunakan untuk pelaksanaan Slamatan bubur slabuk pada tanggal 10 Muharam, apem pada tanggal 15 Syafar, Mauludan pada tanggal 12 Rabiul awal, tajilan pada bulan Romadhon, selamatan Lebaran pada tanggal 1 Syawal dan penyembelihan Qurban pada Idul Adha oleh pihak Keraton.
Masuk lebih ke dalam lagi, kita akan melalui gerbang Gledegan (yang konon katanya jika orang masuk ke sana akan diperiksa dan menimbulkan bunyi seperti Geledeg), dan kita dapat melihat beberapa bangunan dalam Keraton. Berdiri dari gerbang Gledegan, saya dapat melihat papan petunjuk, di mana di sebelah kanan saya terdapat sebuah musium benda kuno, sebelah kiri saya terlihat musium kereta barong, dan di depan saya terdapat Taman Bunderan Dewan Daru.
Taman ini ditanami 8 buah pohon Dewan Daru, sehingga dinamakan menjadi Taman Bunderan Dewan Daru. Di taman itu terdapat Nandi, patung lembu kecil yang melambangkan kepercayaan umat Hindu, 2 ekor macan putih yang melambangkan Padjajaran, Meja dan bangku batu seperti yang terdapat pada Siti Inggil, dan dua buah meriam pemberian Prabu Kabunangka Pakuan. Meriam tersebut dinamakan Ki Santoma dan Nyi Santomi.
Pagoda Graken dan Cermin
Jika kita menginjakkan kaki di Musium Benda Kuno, kita dapat menemukan beberapa benda bersejarah seperti barang kerajinan dari luar negeri, alat upacara adat, dan juga senjata sebagai koleksi, diantaranya seperangkat gamelan degung, gamelan berlaras slendro, peninggalan Putri Ong Tien seperti Pagoda Graken untuk menyimpan jamu, Peti Kandaga untuk tempat perhiasan dan Kaca Rias yang dihiasi ukiran-ukiran khas China, selain itu juga ada senjata dari Mesir dan Portugis, dan masih banyak lagi. Tetapi lagi-lagi saya kurang beruntung, karena ketika saya berada di sana kedua musium tersebut sedang dipugar, sehingga apa yang bisa saya lihat sangat terbatas.
sangkar yang digunakan untuk upacara turun tanah anak 7 bulan
Di seberang Musium Benda Kuno, kita dapat melihat bangunan tempat di mana Kereta Singa Barong disimpan. Kereta ini juga salah satu bukti nyata akulturasi yang terjadi di dalam Keraton Kasepuhan di masa kejayaannya. Kereta Singa Barong dibuat atas permintaan dari Panembahan Pakungwati I. belalai gajah melambangkan persahabatan dengan India yang menganut agama Hindu. Kepala Naga Buroq melambangkan persahabatan dengan Mesir yang menganut agama Islam. Dan trisula pada belalai gajah tersebut melambangkan tajamnya alam pikiran manusia yaitu Cipta, Rasa, dan Karsa. Bentuk bangunan dari kedua musium ini mirip dengan struktur bangunan-bangunan Eropa.


Tepat di belakang Taman Bunderan Dewan Daru, kita dapat melihat sebuah gapura yang dinamakan Gapura Kutagara Wardasari. Pada Gapura yang berdiri dengan gagahnya ini, terukir Wadasan yang menggambarkan manusia harus memiliki pondasi yang kuat, serta bagian atasnya berukir Mega Mendungan yang melambangkan jika sudah menjadi Raja, harus dapat mengayomi rakyatnya. Kedua ukiran ini menggambarkan kebudayaan Cirebon yang khas, seperti yang bisa kita temui dalam setiap batik khas Cirebon yang berpola awan mega mendung.
Di belakang Gapura, terdapat sebuah bangunan yang dinamakan Jinem Pangrawit. Jinem Pangrawit ini berfungsi sebagai tempat penerimaan tamu oleh Pangeran Patih atau Wakil Sultan.
Jika kita memasuki bangunan utama Keraton melalui pintu depan, maka kita harus melewati Jinem Pangrawit ini terlebih dahulu, kemudian masuk ke bangunan tanpa dinding bertiang putih yang disebut dengan Loos Gajah Nguling. Loos ini menghubungkan Jinem Pangrawit dengan Bangsal Pringgadani. Konstruksi Loos ini menurut saya cukup unik, karena bentuk Loos ini tidak lurus, melainkan miring. Menurut keterangan dari Mas Ferry, Loos ini berbentuk miring atas pengaruh Feng Shui China yang menyatakan bahwa pintu depan dengan pintu belakang tidak boleh berada dalam satu garis lurus, untuk menghindari sifat boros oleh orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Loos Gajah Nguling
Keragaman budaya yang terdapat pada Keraton Kasepuhan paling jelas terlihat dari Bangsal Pringgadani dan Bangsal Agung Panembahan. Di dalam Bangsal Pringgadani ini terdapat dua lampu gantung (chandelier) yang memiliki ciri khas Eropa, di dinding Bangsal Pringgadani dapat ditemukan keramik-keramik yang berasal dari Eropa, dan terdapat pula piring-piring dari China yang menghiasi dinding dekat Bangsal Agung Panembahan, bersama keramik dari Belanda dengan corak merah dan biru, serta ukiran kembang Kanigara.
Bangsal Pringgadani
Uniknya di sebuah dinding yang sama, terdapat banyak sekali budaya yang mengambil peran di dalamnya. Dalam ukiran kembang kanigara tersebut terdapat buah manggis yang konon katanya melambangkan 5 rukun islam, di bawah ukiran tersebut terpasanglah dengan indah piring-pring dari China yang jika kita perhatikan dengan seksama, walaupun pola dan gambar dari semua piring tersebut sama, tapi detail masing-masing piring berbeda, karena piring –piring tersebut dibuat satu per satu menggunakan tangan dan bukan mesin. Lalu, adapula keramik dari Belanda seperti yang sudah saya bilang, yang berwarna kemerahan dan biru. Masing-masing keramik tersebut memiliki gambar yang berbeda, yang biru menggambarkan potret pemandangan Eropa, sementara yang kemerahan menggambarkan kisah-kisah yang terdapat pada alkitab.
Ukiran kembang kanigara
Ternyata semua itu punya tujuan masing-masing. Menurut keterangan dari Mas Ferry, semua benda-benda yang berasal dari luar Indonesia tersebut memang sengaja dibiarkan mempengaruhi konstruksi Keraton Kasepuhan. Tentu kita semua bertanya-tanya, kira-kira kenapa semua itu digunakan? Konon katanya, ini merupakan salah satu taktik dari Keraton Kasepuhan agar tidak diruntuhkan atau diserang. Dengan mengadopsi kultur Belanda melalui barang-barang peninggalannya di sana, Keraton Kasepuhan cenderung terhindar dari serangan Belanda, karena perlu kita ingat, masa-masa di mana Keraton ini dibangun adalah masa-masa di mana kita, Bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda. Dan ternyata semua taktik tersebut berhasil! Keraton Kasepuhan masih berdiri dengan gagahnya hingga sekarang, tidak seperti kerajaan-kerajaan lain yang ada pada masanya.
Piring keramik dari China
Selain keramik, di dalam Bangsal Pringgadani juga dapat kita lihat beberapa lukisan-lukisan tua, guci-guci China, dan meja rias dengan sentuhan etnik China. Kemewahan Bangsal Pringgadani masih dapat kita rasakan di sana.
Lebih ke dalam lagi, terdapat simbol kekuasaan Keraton Kasepuhan, yaitu Bangsal Agung Panembahan. Di Bangsal tersebutlah terdapat singgasana Gusti Panembahan atau singgasana Sultan. Di belakang singgasana tersebut terdapat Ranjang Kencana, tempat Sultan beristirahat siang.  Di Bangsal Agung Panembahan juga terdapat kursi dan meja yang berasal dari Eropa. Kursi tersebut dahulu digunakan sebagai tempat Permaisuri dan Putera Mahkota jika berkenan hadir. Dahulu, area Bangsal Agung Panembahan boleh dimasukki oleh pengunjung, namun sejak kursi singgasana Sultan pernah patah, Bangsal Agung Panembahan hanya bisa dilihat dari Bangsal Pringgadani.
Dari samping Bangsal Pringgadani terdapat Langgar Alit yang digunakan untuk Tadarus setelah Sholat Terawih. Selain itu kita juga akan menemui Gerbang Buk Bacem, suatu gerbang yang sangat kokoh dan tebal beratap tembok dengan pintu daun kayu. Dinamai Buk Bacem, karena konon kayu yang digunakan untuk membangun pintu ini direndam terlebih dahulu dengan ramuan khusus (atau bahasa yang kita gunakan sekarang dibacem). Gerbang Buk Bacem ini dihiasi dengan warna-warni keramik dari China.

Bagian luar Gerbang Buk Bacem, terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat Staff harian yang bertugas melayani tamu yang ingin menghadap Sultan. Bangunan tersebut disebut Lunjuk yang artinya Petunjuk.
Selain itu, di dalam kompleks Keraton Kasepuhan ini, kita juga dapat menemui puing-puing dari Keraton Dalem Agung Pakungwati, yang di dalamnya terdapat 3 buah sumur, yang salah satunya adalah sumur racun atau sumur opas, terdapat 2 tempat mandi yang konon dipergunakan untuk tempat mandi para puteri kerajaan dan para pangeran, serta dinding-dinding yang tersusun atas batu merah. Jika dapat kembali ke beberapa ratus tahun silam, saya rasa saya dapat membayangkan betapa indahnya bangunan-bangunan yang ada di dalam Keraton Dalem Agung Pakungwati  pada jaman itu, sayang sekali beberapa usaha pemerintah dalam memugar situs-situs peninggalan Keraton Kasepuhan dan Keraton Dalem Agung Pakungwati, sedikit mengurangi keindahan alami dari situs-situs peninggalan tersebut.


Satu hal yang sangat unik dari bangunan-bangunan dalam Komplek Keraton Kasepuhan ini adalah bagaimana cara mereka membuat bangunan Keraton ini jika jaman dahulu belum ada semen? Dan mengapa bangunan tersebut dapat berdiri dengan kokohnya hingga sekarang ini? Saya cukup penasaran, dan ketika saya mendapatkan jawabannya, saya sulit untuk mempercayainya bahwa bangunan ini dulunya dibangun dengan menggunakan telur sebagai perekatnya.

Dari semua yang saya dapatkan setelah saya berkunjung ke Cirebon dan ke Keraton ini, satu hal yang dapat saya highlight. Baik budaya Cirebon maupun Keraton ini, mengambil dan terpengaruh oleh beberapa budaya yang cukup berbeda, dan menyatukan budaya-budaya tersebut menjadi budaya mereka sendiri yang menjadi berbeda pula dengan budaya-budaya yang mempengaruhinya. Seperti Cirebon yang awalnya merupakan perbatasan antara Budaya Jawa dan Budaya Sunda, kini telah diakui menjadi Budaya Cirebon secara utuh.


bersama pemandu Keraton

1 comment:

  1. Thank You Jessica, saya terkesan sekali dengan tulisannnya, saya baru tour ke tempat tempat bersejarah di Cirebon, apakah saya boleh bertanya ?

    ReplyDelete