Pages

Tuesday, January 15, 2013

Ritual Upaca Adat "Saparan Bekakak"

Nama :  Deonisia Arlinta Graceca Dewi
NIM : 1114010107
Kelas : F1


Apa yang ada dipikiran kita ketika membayangkan kota Yogyakarta? Ya! Kota istimewa, seperti slogannya yaitu Jogja Istimewa. Setiap orang pasti akan langsung setuju apabila diajak berpergian ke kota yang terkenal denga Gudegnya ini. Sebuah kota wisata yang termasuk salah satu penghasil devisa tertinggi di Indonesia dari aspek pariwisatanya. Bagaimana tidak banyak hal yang bisa kita dapatkan ketika berkunjung ke kota ini. Mulai dari alamnya, kuliner, oleh-oleh, pernak-pernik, tempat wisata, masyarakatnya, dan satu yang paling kental disini yatu kebudayaan Jawanya.  Sungguh luar biasa memang kebudayaan di kota ini. Setiap warganya dengan kepercayaan yang kuat berusaha melestarikan  aset budaya yang memang sudah turun temurun ada. Tidak ada unsur paksaan dari masyarakatnya untuk bisa melestarikan dan mengekspos kebudayaannya. Mereka mau dan berdasarkan inisiatif sendiri.
Budaya. Hal yang memang tidak akan lepas dari kehidupan kita. Setiap orang tentunya memiliki budaya dan identitas yang bisa menjadikan pembeda dengan orang lain. Bagaimana budaya pun dapat membentuk karakter dan kebiasan setiap orang. Budaya pun dibentuk karena adanya identitas. Budaya tentunya dapat membentuk pemahaman dan ekspektasi seseorang mengenai komunikasi yang benar dan sesuai dengan berbagai latar belakang social dalam kehidupannya.
seseorang dengan pakaian adat Jogja yang merperlihatkan identitas budayanya

Seperti yang telah dikatakan oleh Collier, untuk dapat melakukan komunikasi yang efektif dalam situasi antar budaya, identitas budaya yang dimiliki seseorang serta gaya komunikasinya harus sesuai dengan identitas dan gaya yang ditampilkan pada saat melakukan interaksi dengan orang lain.
Hal inilah yang bisa saya temui di dalam lingkungan masyarakat Ambarketawang ini. Masyarakatnya sangat memperlihatkan bagaiamana budayany membentuk identitas masing-masing anggotanya. Budaya dengan tutur kata yang sopan dan ramah sangat terlihat. Salah satu dari kebudayaan yang luar biasa yang saya temui  adalah upacara adat Saparan Bekakak. Dalam upacara ini seutuhnya menggunakan bahasa jawa karma yang halus dalam setiap perkataannya. Lagu-lagu yang ditembangkan juga menggunakan bahasa jawa halus dengan tempo yang sangat lambat. Sangat menggambarkan identitas warganya bukan? Masyarakat yang sopan dan halus, serta sangat suka hal yang lembut bukan terburu-buru.
Selain itu keikutsertaan warganya dalam setiap acara sangat terliaht disini. Bagaimana sebuah kerjasama dan rasa kekeluargaan sangat terjaling dengan baiknya. Berbeda dengan identitas di kota besar tentunya. Secara sadar dan bedasarkan inisiatif sendiri setiap warga berduyung-duyung untuk bisa berpartisipasi, tidak hanya orang tua tetapi anak-anak kecil pun turut serta dan yang luar biasa mereka melakukan hal itu dengan senang dan bersemangat.
anak-anak desa Ambarketawang yang ikut memeriahkan acara "Saparan Bekakak"


Berikut saya ceritakan bagaimana gambaran identitas warga desa Ambarketawang terlihat dengan hasil salah satu upacara adat Saparan Bekakak yang berjalan sangat baik. Serta menggambarkan bahwa warga disana masih sangat kental dengan kepercayaan adatnya yang percaya bahwa arwah-arwah jahat masih bergentayangan. Sehingga diperlukan suatu persembahan yang bisa dikatakan sebagai bentuk tolak bala.
                Upacara adat Saparan Bekakak ini adalah upacara adat yang setiap tahun rutin, bahkan wajib, untuk dilakukan setiap bulan Syafar dalam kalender islam  atau biasa oleh orang Jawa menyebutnya bulan Sapar. Pada puncak upacara akan disembelih sepasang boneka pengantin yang terbuat dari tepung beras ketan atau yang biasa oleh warga disebut Bekakak (persembahan berupa hewan atau manusia) di pasanggrahan Gunung Gamping, Sleman. Bekakak yang digunakan pada upacara ini adalah sepasang pengantin yang sedang duduk bersila dan saling berdampingan.
sepasang Bekakak yang akan disembelih

Sangat kebetulan ketika upacara adata tersebut berlangsung saya juga sedang berlibur ke kota batik ini. Lebih kebetulan lagi adalah saya baru mendapatkan informasi bahwa ada upacara adata ini adalah saat pagi hari. Sungguh, saya merasa beruntung kali itu. Sehingga saya pun langsung bersiap-siap dan mencari teman untuk menemani saya untuk bisa meliput acara yang harus didatangi tersebut. Akhirnya saudara sayalah yang saya ajak, karena hanya dia yang tidak ada acara. Terima kasih Reta J
Berdasarkan mitos Jawa kuno yang saya ketahui setelah berbincang dengan ketua panitia acara ini, bulan Sapar identik dengan bulan sial dimana sering terjadi kecelakaan dan musibah. Oleh karena itu, masyarakat setempat pun pada akhirnya melaksanakan ritual Saparan dengan maksud memohon kepada Yang Maha Kuasa agat dihindarkan dari mara bahaya dan musibah yang akan terjadi. Ritual Saparan pun akhirnya dilakukan secara rutin di kawasan Desa Ambarketawang, Yogyakarta karena kawasan ini merupakan tempat didirikannya Kraton Yogyakarta untuk pertama kalinya oleh pangeran Mangkubumi puluhan tahun yang lalu.
Warga percaya bahwa ritual adat ini bermula pada kisah mengenai sepasang suami istri yang merupakan abdi dqlem penangsang (hamba yang memayungi) yang setia dari Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi ). Mereka dikenal sebagai Kyai Wirasuta dan Nyi Wirasuta.
Sebagai Kanjeng Sinuhun (penguasa kasunanan) yang pertama, Sultan Hamengkubuwono I ini bermaksud untuk mendirikan sebuah istana (keraton) sebagai kediaman baginya.  Saat pembangunan keraton, Sultan memilih sebuah pesanggrahan yang terletak di Desa Ambarketawang, daerah Gamping,  yang memang warga di sana sebagian besar bermata pencaharian sebagai penambang batu gamping.
Setelah pembangunan keraton selesai, Sultan bersama seluruh abdi dalem pun kembali menuju ke Keraton yang baru. Tetapi Kyai dan Nyai Wirasuta memutuskan untuk tidak turut Sultan menuju keraton dan memilih untuk menetap di pasanggrahan bekas tempat singgah Sultan di Desa Ambarketawang tersebut.
Tanpa disangka musibah pun terjadi  menimpa sepasang abdi dalem ini. Tepat pada Jumat Kliwon di bulan Sapar, Gunung Gamping runtuh dan menewaskan Kai dan Nyai Wirasuta. Namun anehnya, sampai sekarang jasad mereka tidak ditemukan. Setelah kejadian tersebut  sering terjadi musibah setiap bulan Sapar dating.  Melihat hal ini timbul perasaan resah dari warga setempat dan warga pun mempercayai bahwa arwah dari Kyai dan Nyai Wirasuta masih menempati Gunung Gamping .
Mengetahui keresahan tersebut, Sri Sultan akhirnya megeluarkan titas kepada masyarakat Ambarketawang untuk mengadakan upacara selamatan dengan mempersembahkan sepasang pengantin (Bekakak) yag terbuat dari campuran beras ketan sebagai simbol untuk menggantikan Kyai dan Nyi Wirasuta beserta seluruh warga yang menjadi korban dari longsornya Gunung Gamping pada waktu silam.
Siang itu (28/12/2012) saya yang sudah sampai di tempat pukul satu siang dan melihat ratusan warga sangat antusias ramai berkumpul di lapangan besar di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menyaksikan ritual tahunan ini. Di dalam ruang Balai Kota Ambarketawang sudah terlihat tiga ogoh-ogoh yang didalamnya terdapat sesajen berupa dua pasang bekakak dan makanan yang biasa dipersembahankan dalam acara ritual adat. Nampak pula dalam sangkar sepasang buruh merpati yang dimaknai sebagai simbol dari sepasang kekasih yang akan terus setia.


Upacara saparan babakan ini dilakukan kurang lebih selama satu minggu. Diantaranya adalah tahapan midodareni bekakak yang biasa juga dilakukan oleh pengantin-pengantin jawa pada umumnya, tahapan kirab,  lalu tahapan penyembelihan bekakak, dan yang terakhir adalah tahapan Sugengan Agung. Namun karena saya termasuk terlambat mendapatkan informasi mengenai upacara adat ini, saya tidak bisa melihat secara langsung ritual upacara adat ini dari awal. Alhasil, saya pun hanya bisa mendapatkan informasi dari cerita dari ketua panitia dan masyarakat disana.
Upacara Saparan Bekakak ini sudah dijadwakan bahwa untuk kirab Tematen Bekakak akan dilakukan pada pukul 14.00 WIB pada hari Jumat Kliwon dalam bulan Sapar. Kemudian dilanjutkan dengan penyembelihan bekakak di Gunung Gamping pada pukul 16.00 WIB. Dalam persiapan ritual bekakak ini dibagi dalam dua bagian yaitu saparan bekakak dan sugengan ageng. Persiapan untuk saparan bekakak yang terutama adalah pada pembuatan bekakak yang terbuat dari tepung ketan dan membuat juruh. Juruh disini yang akan di masukan ke dalam tubuh bekakak yang diumpamakan sebagai darah.
Iringan suara gejong lesung atau klothekan yang terdiri dari bermacam-macam irama yaitu kebogiro, thong-thongsot, dhethek, wayangan, kutut manggung terdengan pada saat pembuatan tepung yang dibuat dari beras oleh ibu-ibu warga desa Ambarketawang ini. Setelah tepung jadi dari proses penumbukan beras dilanjutkan dengan pembentukan sepasang penganting bekakak, genduwo, kembang mayang, dan sesajen-sesajen lainnya.
Dua pasang pengantin bekakak yang dibentuk sangat menyerupai pengantin Jawa pada umumnya. Salah satu pengantin bekakak dihias dengan gaya pengantin Jawa Yogyakarta dan sepasang lainnya dihias dengan gaya pengantin Solo. Sama seperti pengantin sebenarnya, bekakak disini dirias dengan pakaian adat pengantin Jawa yang lengkap.
Pengantin laki-laki satu yang berpakaian pengantin ala adat Solo terlihat menggunakan ikat kepala ahestar yang berhiaskan bulu-bulu dan di lehernya terdapat selendang merah dengan kalung sungsun, sabuk berwarna biru dan dilengkapi dengan slepe. Terselipkan pula sebuah keris yang dironce dengan bunga melati dan kelat bau. Dari pengantin wanitanya terlihat memakai kemben berwarna biru dan terdapat selenfang merah yang di kalungkan pada lehernya dengan menggunakan kalung sungsun. Wajahnya juga dipaes, riasan wajah pengantin Jawa, digunakan pula sebuah gelung yang berhiaskan bunga-bunga dan mentul. Tak lupa pada bahunya dipasangkan kelat dan memakai subang.
Dilain ogoh-ogoh nampak sepasang pengantin dengan pakaian adat Yogyakarta yang lengkap dengan sesaen di depannya. Pengantin laki-laki terlihat memakai penutup kepala atau yang biasa disebut kuluk yang berwarna merah. Tak lupa dikalungkannya selendang atau sluier biru dengan kalung sungsun dan ditambah dengan ikat pinggang biru dengan slepe, kain lereng, kembn berwarna hijau, dan kalung selendang biru atau bangu tulak. 



Dalam pembuatan pengantin bekakak ini warga memiliki ketentuan khusus yang tidak boleh dilanggar, mereka meganggap ini sebagai syarat supaya bekakak yang dihasilkan bisa baik. Syarat tersebut yaitu mengharuskan orang-orang yang menyiapkan bahn mentah seperti beras, air, tepung dan lain sebagainya adalah para wanita sedangkan untuk pembuatan bekakaknya dikerjakan oleh para pria.
Sesajen yang dipersembahkan dalam upacara adat ini dibagi menjadi tiga kelompok. Dua sesajen masing-masing diletakkan untuk dua jail dimana sesajen ini masing-masing diletakkan bersama dengan sepasang pengantin bekakak. Dan satu kelompok lagi di letakkan di dalam jodhang yang digunakan sebagai plengkap sesajen untuk upacara ini.
Sesajen yang diletakkan bersama dengan pengantin bekakak adalah nasi uduk atau biasa warga menyebutnya nasi wuduk yang diletakkan dalam pengaron kecil, lalu ada nasi liwet yaitu makanan khas Solo yangdiletakkan dalam sebua kendhil kecil yag dilengkapi dengan rangkaian daun dhadhap, daun turi, daun kara, telur mentah dan sambal gepeng. Terlihat juga tumpeng yang disebut dengan tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik atau pecel ayam, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedhang kopi pahit, wedhang kopi manis,  jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gereh (ikan asin) mentah, dan lainnya.
Sejujurnya saya sendiri kurang tahu nama-nama itu, tapi untungnya saat liputan acara ini saya ditemani oleh salah seorang saudara saya yang memang asli Jogja yang setidaknya mengerti nama-nama sesajen atau makanan-makanan yang disuguhkan disana. Selebihnya saya bertanya langsung dengan panitia yang memang mempersiapkan sesajen-sesajen tersebut jadi bisa dipercaya kok nama-nama diatas J
Sesajen-sesajen yang telah dipersiapkan tersebut diletakkan dalam sudhi atau gelas kecil dan kemudian ditaruh di atas jodhang. Diantaranya adalah sekul wajar (nasi ambeng) dilengkapi dengan lauk pauk yang membuat saya ingin menyomotnya haha yaitu sambel goring waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho, dan masih banyak lagi yang saya tidak ketahui namanya. Lalu ada oula sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang diletakkan dalam centhing bamboo, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkap), sirih, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), dan asal tahu itu semua adalah nasi yang hanyadimasak denga cara yag berbeda sehingga namanya pun berbeda juga, membingungkan sebenarnya.
Tidak hanya itu, masih ada lagi ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti aleng, jadah bakar, emping, klepon,, tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, kelapa dan ayam hidup! Bayangkan ayam hidup diletakkan bersamaan dengan makanan-makanan tadi. Awalnya saya tidak menduga ada ayam hidup, tapi pada saat saya mendengar suara kukuran ayam saya baru tahu ada ayam disana. Yaa begitula yang ada.  Semua sesajen tadi diletakkan dalam lima ancak, dua ancak ditaruh bersamaan dalam jail. Selain itu terlihat pula sepasang burung merpati dalam sangkar, dimana sepasang burung ini diartikan sebagai kesetiaan yang sesuai dengan kesetiaan pasangan suami istri Kyai dan Nyai Wirasuta kepada Sultan Yogyakarta.


Kembali pada ritual pertama yaitu Midodareni Bekakak. Walaupun bekakak yang dipersambahkan ini hanya berwujud pengantin tiruan, tetapi menurut adat istiadat penduduk setempa upacara Midodareni peslu untuk tetap dilakukan. Saya tahu acara Midodareni yang memang biasa dilakukan dalam pernikahan adat Jawa, namun saya tidak menduga hal ini juga dilakukan pada persembahan dalam bentuk bekakak ini. Kata Midodareni sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu bidadari. Kata ini mengandung makna bahwa pada malam Midodareni para bidadari turun dari surge untuk memberikan restu pada sepasang pengantin bekakak ini.
Sesuai dengan informasi yang saya dapatkan dari panitia tahapan upacara Midodareni ini berlangsung pada malam hari yaitu pada kamis malam. Acara ini dimulai dari jam 20.00 WIB dimana dua buah jail berisi penganting bekakak dan sebuah jodhang berisi sesajen yang disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe. Semua itu kemudian diberangkatkan ke Balai Desa Ambarketawang dengan arak-arakan yang meriah yang terdiri dari pembawa umbul-umbul, barisan pengawal, joli pengantin dan jondhang, reog dan barisan lainnya. Dalam acara Midodareni ini juga dilakukan malam tirakatan yang dimeriahkan dengan acara wayang gulit, guyon-guyon (semacam acara sepaerti lenong), dan reog.
Memasuki acara puncak yaitu Kirab Pengantin Bekakak. Tahapan ini adalah pada pawai atau arak-arakan orang-orang yangmembawa jail atau ogoh-ogoh pengantin bekakak ke tempat peyembelihan. Seiring dengan kirab ini ada pula rangkaian sesaji sugengan Ageng yang diarak dan dibawa dari Patran menuju pesanggrahan yang pada awalnya sudah diarak menuju Balai Desa terlebih dahulu. Arak-arakkan kali ini lebih meriah, bahkan menurut saya sangat meriah. Semua telihat sangat mempersiapkan diri, dari mulai anak-anak sampai mbah-mbah.
Saat saya tanyakan pada panitia arak-arakkan yang ada jumlahnya 30 kelompok yang sesuai dengan data, dan itu masih bisa bertambah. Bisa dibayangkan betapa panjangnya arak-arakan yan ada nantinya. Arak-arakan ini diantaranya adalah reog dan jathilan, sesajen sugengan Ageng, barisan prajurit baik putra dan putri, rombongan Demang, pembawa tombak, prajurit anak, joli sesajen, barisan anak-anak gendruwo, dan masih banyak lagi.
  Sangat disayangkan memang siang hari itu hujan turun sangt deras, sampai-sampai lapangan Desa Ambarketawang banjir. Tetapi saya sangat salut dengan masyarakat desa di sini. Hujan deras bukan menjadi penghalang untuk tetap bisa memeriahkan acara ini, baik dari pelaku yang ditonton maupun dari masyarakat yang menontonnya. Mereka tetap berduyung-duyung berjalan mengitari kawasan desa ini untuk nantinya mempersembahkan bekakak yang akan disembelih di Gunung Gamping.
Penyembelihan bekakak dimulai setelah arak-arakan tiba di Gunung Amabarketawang. Penyembelihan dilakukan di dua titik, yaitu di titik pertama di Gunung Ambarketawang dan titik kedua di Gunung Gamping. Rute arak-arakan setelah keluar dari Balai Desa adalah melalui jalur ring road utara lalu berhenti di Gunung Ambarketawang untuk penyembelihan pertama dan dilanjutkan menuju ke Gunung Gamping untuk penyembelihan kedua sekaligus pemberhentian terakhir. Sudah bisa dibayangkan apabila 30 kelompok arak-arakan ditambah warga yang ikut dalam perjalanan menyesaki jalan utama kota Jogja ini pasti akan timbul kemacatan. Memang itu yang terjadi kali itu.

Setelah arak-arakan sampai di lereng Gunung Gamping, maka joli kedua yang tersisa pun beserta gunungan sesajen diletakkan di semacam panggung tinggi yang memang dibangun untuk acara seperti ini. Kemudian ulama atau kaum membacakan doa khusus dan barulah boneka pengantin bekakak itu disembelih.  Saya sangat beruntung karena pada saat penyembelihan ini saya bisa mendapatkan posisi di atas tepat disamping bekakak disembelih, bukan bersama masyarakat yang sangat ramai di bawah panggung. 
Setelah selesai disembelih persembahan sesajen pun dibagikan pada warga. Mereka saling berebut untuk bisa mendapatkan sesajen yang disediakan, karena pada dasarnya masyarakat menganggap bahwa sesajen tersebut sudah diberkati sehingga bukan lagi makanan biasa. Saya pun turut melemparkan sesajen tersebut ke warga yang ada di bawah panggung. Menyenangkan ternyata bisa berbagi berkat! J




No comments:

Post a Comment