Pages

Wednesday, January 16, 2013

Kampung Budaya Sindang Barang 

Nama : Jonathan Emmanuel
NIM   : 11140110143
Kelas  : E1






Kampung budaya Sindangbarang menjadi target lokasi observasi saya. Kampung Sindangbarang terletak di kota bogor, tepatnya di desa Pasir Eurih, kecamatan Taman Sari, Jawa barat. Kampung budaya ini dibangun guna melestarikan budaya adat sunda di tengah arus globalisasi yang cenderung mengancam budaya lokal.

Kampung Sindangbarang menjadi kampung tertua di kabupaten Bogor dan berjarak 5 km dari pusat kota Bogor. Adapun alasan mengapa Kampung Sindangbarang dibangun jauh dari perkotaan, itu dikarenakan supaya orang-orang yang ingin berkunjung ke Kampung Sindangbarang melalui perjalanan yang tidak mudah seperti pergi ke sebuah tempat wisata lainnya dan agar lebih terasa suasana alam yang benar-benar asri dan bersahabat. Di sanalah lahir budaya sunda yang hingga kini dipertahankan oleh masyarakat adat. Di dalamnya terdapat bermacam-macam kesenian tradisional yang dilestarikan oleh penduduknya. Kampung budaya sindangbarang juga memiliki 27 bangunan adat. Enam bangunan diantaranya adalah Leuit atau yang disebut lumbung padi. Leuit dibangun berjejer menghadap lapangan rumput hijau yang luas. Dilengkapi pula dengan petak-petak sawah yang menambah suasana perkampungan adat sunda pada jaman dahulu. Beberapa peninggalan kerajaan Pajajaran juga terdapat di sana, berupa bukit-bukit berundak.

Konon dikatakan keberadaan Sindangbarnag sudah ada sejak jaman kerajaan Sunda sekitar abad XII. Masih ada cerita rakyat (folklore) mengenai kerajaan Pajajaran yang diturunkan dari generasi hingga ke generasi dan juga adanya naskah pantun Bogor yang menjadi bukti keberadaan Sindangbarang. Melalui kampung budaya Sindang barang inilah, para pelopor dari masyarakat adat berusaha mengembalikan suasana jaman dahulu, dimana sindangbarang menjadi tempat peribadatan. Rumah-rumah adat juga melengkapi keasrian kampung sindangbarang.


Sebagai kampung wisata budaya, berbagai fasilitas dan serangkaian kegiatan pun disediakan bagi para pengunjung. Fasilitas kamar tidur dalam bangunan adat sunda bogor dan kegiatan dari menanam padi di sawah, memandikan kerbau, dan menumbuk padi , hingga pengenalan tentang kesenian tradisional. Kesenian tradisional seperti alat musik gamelan, tari sunda dan membatik.

Itulah sekilas gambaran mengenai kampung budaya Sindang barang. Setelah menelusuri jalan kecil , sekitar 5 jam perjalanan saya pun sampai di desa Pasir Eurih. Suasana perkampungan sangat kental di sana. Dapat saya nikmati pemandangan asri dengan petak-petak sawah menambah suasana kampung yang berbeda dengan di kota. Untuk mencapai pintu utama kampung, saya harus melewati jalanan berbatu yang menanjak dikelilingi pohon-pohon besar yang rindang seperti sedang berada di pegunungan.



Saat saya datang ke sana, bertepatan dengan sebuah kunjungan dari sekolah. Para murid TK dan SD itu secara berdampingan mengikuti perjalanan wisata budaya di sindangbarang. Tepatnya hari Senin, 24 Desember 2012.

Hamparan sawah dan jejeran bangunan adat pertama kali memanjakan mata saya dan membawa saya akan suasana kampung jaman dulu . tidak berapa lama, seorang berpakaian adat sunda menghampiri saya dan memandu saya untuk mengenal lebih jauh tentang kampung wisata budaya ini. Beliau bernama Ukat yang biasa dipanggil Abah Ukat. Ia menjelaskan bahwa enam bangunan adat khas sunda bogor yang berjejer menghadap lapangan rumput yang luas, disebut Leuit (lumbung padi). Leuit digunakan untuk menyimpan hasil panen padi yang akan digunakan untuk dikonsumsi maupun sebagai persembahan saat upacara Seren Taun.

Para kokolot (pengurus) dan karyawan kampung adat berkomunikasi menggunakan bahasa sehari-hari mereka, yakni bahasa sunda. Bahasa sunda yang mempersatukan mereka dan membentuk identitas mereka sebagai warga sunda bogor. Menurut Samovar, dalam buku yang berjudul “Komunikasi Lintas Budaya”, “Bahasa mengizinkan orang-orang membentuk kelompok dan terlibat dalam usaha yang kooperatif baik dalam skala besar maupun kecil.
Kosakata yang digunakan bersama memungkinkan untuk merekam dan memelihara kejadian masa lalu, sekalipun hanya dengan interpretasi selektif. Rekaman ini menjadi catatan sejarah suatu komunitas yang disampaikan ke generasi berikutnya, menjadi faktor penyatu. Kebaikan dari generasi sebelumnya menjadi cara penting untuk menyosialisasikan dan mengajarkan budaya pada anak-anak mengenai nilai dan perilaku normatif yang tetap dipertahankan. Dengan kata lain, bahasa menolong kita mempertahankan catatan sejarah yang mempersatukan kita. Sayangnya, persekutuan yang dibentuk dari bahasa dapat menjadi faktor pemecah ketika manusia mulai mengidentifikasi bahasa ibu mereka terlalu kuat dan merasa terancam oleh bahasa lain. Memelihara hubungan sosial juga tergantung pada bahasa untuk lebih dari sekadar pesan komunikasi. Misalnya, tipe bahasa yang digunakan untuk menyatakan keintiman, penghargaan, persatuan, formalitas, jarak, dan kondisi lainnya yang dapat menolong Anda untuk mempertahankan atau memutuskan hubungan Anda.”

Selama berada di Kampung Sindangbarang, saya dapat mengetahui banyak kebiasaan mereka yang sudah jarang saya temui di kota-kota besar. Misalnya, cara mereka makan nasi. Masyarakat adat Sunda Wiwitan terbiasa makan dengan menggunakan tangan yang memiliki mitos tersendiri. Setelah saya bertanya kepada salah satu pengurus di sana, ternyata dahulu kala terdapat mitos kalau kelima jari yang terdapat pada tangan manusia itu memiliki energi yang berbeda di tiap masing-masing jari. Lalu dia memberikan ilustrasi kepada saya, kalau kita membeli lima bungkus nasi padang dan mencelupkan kelima jari kita masing-masing kepada satu bungkus nasi padang maka dalam beberapa hari kemudian kita akan melihat bungkus nasi padang mana yang paling cepat membusuk. Dari sanalah mereka berpandangan bahwa, ketika kita memakan nasi menggunakan tangan, maka makanan yang kita makan akan lebih mudah dicerna oleh pencernaan karena proses pembusukan di dalam perut lebih cepat dan tidak keras sehingga memudahkan kerja lambung pada saat proses pencernaan. Itu adalah salah satu mitos yang saya dapatkan ketika sedang melihat mereka makan.

Saat sedang berbincang-bincang dengan orang-orang sekitar sana, mereka percaya kalau keturunan mereka yang terdahulu memiliki kepintaran yang tinggi tanpa dibantu oleh teknologi sedikitpun. Contohnya adalah ketika mereka memberi tahu kepada saya tentang proses pembangunan sebuah fondasi rumah. Sebelum membangun, ditanamkan batu ke dalam tanah yang diberikan pasir sebelumnya di dalam sebuah lobang. Kemudian pasir itu akan ditindih oleh batu yang besar. Walaupun dahulu belum terdapat teori-teori tentang cara membangun rumah dengan baik dan benar, tetapi dengan adanya pasir yang terletak di bawah batu tersebut maka jika terjadi gempa atau goncangan dari alam, rumah tidak rubuh tetapi dapat bergoyang mengikuti gempa tersebut yang dikarenakan adanya pasir yang membuat fondasi dari rumah tersebut tidak kaku melainkan lentur.  

Selain itu, penduduk yang tinggal di sekitar kampong Sindang Barang juga bekerja di sawah sebagai petani dan mengurus kebun. Ada juga yang bekerja sebagai pengrajin sandal dan batik. Batik tersebut dijual dengan harga yang berkisar antara Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 150.000,00. Di sisi lain, anak-anak kecil di sana terutama wanita sudah diajarkan bagaimana cara membuat batik yang baik dan benar, sehingga anak-anak kecil di sana sudah ditanamkan budaya-budaya Indonesia agar kedepannya mereka dapat membawa nama baik Indonesia dikancah Internasional agar dunia mengenal bahwa Indonesia bukanlah Negara yang hanya bisa korupsi tetapi juga mempunyai hasil karya yang tidak dimiliki oleh Negara manapun.

Hal lain yang saya dapat dari pengalaman saya berada di kampung Sindang Barang ialah bagaimana masyarakat Sindang Barang sangat kental berbahasa sunda. Masyarakat adat yang mengabdikan hidup mereka dalam melestarikan kampung budaya Sindang Barang, senantiasa memakai pakaian khas sunda dengan logat sunda mereka yang “ceplas ceplos”. Saya tak sengaja mendengar percakapan ala sunda mereka saat saya berada di sana. Tentu karena saya bukan orang sunda jadi tidak mengerti arti ucapan mereka.

Saat saya berbincang dengan salah satu tetua adat di sana juga demikian halnya. Pak Ukad namanya. Beliau memakai pakaian khas sunda dan berbicara bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan saya. Tentu saja logat kesundaannya sangat terasa di telinga saya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang ditulis Samovar dalam bukunya yang berjudul “Komunikasi Lintas Budaya” ,mengenai “membentuk dan menetapkan identitas budaya”. dikatakan  bahwa identitas setiap pribadi manusia dapat terbentuk melalui berbagai kegiatan dalam kehidupan. Kegiatan yang dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang akan menjadi identitas budaya hidup seseorang. Komunikasi juga merupakan bagian terpenting dalam pembentukan identitas budaya. Melalui interaksi dalam lingkungan keluargalah kita membentuk identitas budaya kita, karena keluarga adalah lingkungan terdekat setelah kita lahir. Dalam keluarga kita ditanamkan oleh budi pekerti, budaya leluhur, serta kepercayaan yang akan menyatu dengan diri kita hingga kita dewasa. Sehingga, identitas budaya seseorang dapat dilihat secara jelas melalui berbagai cara. Misalnya, dari cara berpakaian, bahasa yang digunakan, logat berbicara, penampilan fisik, perayaan, dan berbagai cara lainnya.

Berbicara mengenai perayaan. Ada sebuah ritual adat dalam kebudayaan Sunda Bogor yang dilestarikan secara turun temurun oleh penduduk desa Pasir Eurih, yakni upacara SerenTaun.  Upacara adat Seren Taun dilakukan setahun sekali pada bulan Muharam, sebagai bentuk ucapan syukur para masyarakat adat akan hasil panen atau hasil bumi yang didapat. Ritual itu ditandai dengan adanya persembahan sesajen berupa hasil-hasil panen mereka. Yang menarik dari  upacara adaat Seren Taun ialah upacara ini tidak bersifat tertutup. Siapa saja yang ingin mengikuti dan menghadirinya dipersilahkan, tanpa memandang dari agama mana, suku mana, daerah mana. Rasa kebersamaan sangat dapat dirasakan saat upacara berlangsung. Tak ketinggalan, berbagai kesenian tradisional khas sunda juga melengkapi kekhusyukan upacara.



Kebiasaan masyarakat Sindang Barang diwariskan turun temurun. Ketua kampung budaya Sindang Barang yang bernama Pak Maki juga memiliki kedudukan yang merupakan warisan dari ayahnya. Begitu pula dengan tetua adat di bawahnya, akan mewariskan pengetahuan adat dan kedudukannya ke anaknya atau sanak saudaranya. Upacara Seren Taun juga merupakan upacara tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi hingga kini tetap dilaksanakan masyarakat Sindang Barang. Hal ini sesuai dengan teori dalam buku “Komunikasi Lintas Budaya”, dimana dikatakan bahwa budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi. Suatu budaya tentu ingin dipertahankan oleh pemilik budaya tesebut. Dengan mempertahankan budaya, budaya tersebut otomatis harus dibagikan dan tidak hanya sebatas dibagikan, tetapi juga dipastikan pesan-pesan dan elemen penting yang terkandung dalam budaya tersebut dapat diturunkan pada generasi yang akan datang. Dengan demikian, masa lalu akan terus berlanjut di masa kini.

Samovar mengatakan bahwa budaya merupakan pewarisan sosial yang mengandung pandangan yang sudah dikembangkan jauh sebelum kita lahir. Sebelum adanya kehidupan baru, pasti ada sejarah yang membentuk atau melatar belakangi adanya kehidupan tersebut. Ikatan generasi menyatakan hubungan yang jelas antara budaya dan komunikasi. Dengan adanya komunikasi, maka budaya dapat berkelanjutan. Suatu kebiasaan, prinsip, nilai, maupun tingkah laku, serta elemen-elemen budaya lainnya diformulasikan, kemudian dikomunikasikan kepada anggota lainnya hingga ke generasi selanjutnya, sehingga suatu kebudayaan tidak akan pernah mati. Untuk itulah masyarakat Sindang Barang masih mempertahankan ritual Seren Taun hingga kini sehingga kebudayaan Sunda Wiwitan tidak akan pernah mati. Hal ini juga yang menjadi tujuan terbentuknya kampung budaya Sindang Barang, demi melestarikan budaya yang sudah ada hingga mengenalkannya pada dunia.

Disisi lain, kita juga dapat melihat bahwa masyarakat Indonesia semakin mengenal adanya keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang itu sendiri yang mengakibatkan masyarakat luas sudah mengenal atau setidaknya mengetahui sedikit tentang budaya yang terdapat di Sindang Barang tersebut, karena bagaimanapun kita juga sebagai masyarakat Indonesia sudah semakin melupakan budaya-budaya di Indonesia. Oleh sebab itulah Sindang Barang juga akan selalu diturunkan kepada keturunan selanjutnya agar tidak hanyut diterpa oleh badai budaya barat atau Negara-negara Asia lainnya.

Tidak hanya budaya yang masih kental dan sangat melekat pada setiap masyarakat Sindang Barang tetapi di Sindang barang tersebut juga kita dapat menemui berbagai permainan tradisional yang sangat menarik dan membuat saya ingin mencobanya. Salah satu permainan tersebut adalah enggrang. Enggrang terbuat dari dua buah bambu dan sedikit potongan kayu sebagai injakan pada saat menaiki dan memainkan enggrang tersebut. Dengan sigap saya mencoba permainan tersebut, karena dulu pada saat saya merayakan 17 Agustus, di sekolah saya terdapat permainan enggrang tersebut sehingga membuat saya sedikit “flashback” saat melihat permainan tradisional tersebut. Menurut saya ada baiknya jika seluruh sekolah di Indonesia menanamkan pelajaran tentang budaya yang ada di Indonesia, tetapi bukan hanya budaya tetapi alat musik dan permainan juga penting untuk dikenalkan pada anak-anak yang sedang duduk dibangku sekolah agar nantinya mereka dapat mengerti bahwa Indonesia mempunyai keanekaragaman yang banyak bukan hanya dari suku, ras atau budaya tetapi juga berasal dari alat musik dan permainan tradisional.

Setelah saya selesai bermain enggrang, saya pun melihat-lihat ada permainan apa saja di kampuung tersebut. Ternyata ada kumpulan anak-anak SD yang sedang berkunjung ke sana juga sedang bermain bakiak. Itu juga salah satu permainan tradisional yang terdapat di Indonesia. Bakiak terbuat dari kayu yang dibentuk seperti sandal panjang yang menyerupai papan. Permainan tersebut sangatlah berguna untuk dikenalkan pada anak-anak bangsa Indonesia. Bukan hanya dari segi permainan yang seru tetapi juga ada makna dibalik permainan bakiak tersebut, dimana kita harus bekerja sama menyamakan langkah kaki agar dapat mencapai garis finish dengan cepat. Dari sana kita dapat belajar bahwa kita harus dapat hidup saling membantu satu sama lain bukan saling menjatuhkan agar kita dapat menjadi orang yang berguna bagi sekitar kita dan mempunyai banyak teman yang nantinya akan membantu kita di masa yang akan datang.

Dari observasi ke Kampung Budaya Sindang Barang, saya dapat melihat betapa banyaknya budaya yang terdapat di Indonesia yang jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia. Semoga dengan hasil observasi saya ini dapat menginspirasi pembaca agar lebih mencintai budaya kita sendiri yaitu budaya Indonesia !!!




Thanks for watching and reading :)
Jesus Bless You 


No comments:

Post a Comment