Pages

Sunday, January 20, 2013

Bukan Gimbal Bukan Gembel Biasa


Nama    : Ivan Linggo
NIM      : 11140110063
Kelas     : E1


                Jika kita berbicara tentang kata “gimbal”, pastinya secara cepat yang langsung tergambar di benak banyak orang adalah sebuah gaya rambut. Panjang dan terlihat agak kurang dipelihara menjadi ciri khas yang menempel di benak sebagian besar orang kepada mereka yang memiliki rambut gimbal. Selain itu, model rambut yang begitu tidak biasa di masyarakat luas ini sangat melekat dan umumnya menjadi tanda utama orang yang mencintai musik reggae. Bob Marley, seorang tokoh panutan dibidang permusikan reggae dan pemilik model rambut gimbal ini lah yang menjadi salah satu penyebab model rambut ini mulai disukai dan diminati banyak orang. Mereka yang telah terpengaruh gaya ini akan memanjangkan rambutnya dan secara sengaja membuat rambutnya itu hingga tampil menjadi gimbal.

                Kejadian serupa juga terjadi ketika kita membicarakan sebuah kata lain yaitu “gembel”. Memang arti dari dua kata tersebut itu berbeda. Namun, ada kemiripan fenomena di masyarakat yaitu munculnya pemikiran langsung atau presepsi spontan di pikiran ketika kata “gembel” itu kita ucapkan. Hampir seluruh orang akan langsung mengidentikkan kata “gembel” dengan masyarakat yang memiliki ekonomi rendah. Khalayak ramai menganggap kata ini selalu sebagai penanda atau pelambangan untuk orang-orang yang mengemis, mengenakan pakaian compang camping,  memungut sampah untuk hidup, tidur di kolong jembatan, tinggal dalam rumah kardus, dan lainnya.

                Namun, kata “gimbal” dan “gembel” dipandang dari sudut pandang berbeda oleh masyarakat yang hidup, tinggal, serta menetap di desa Dieng, Jawa Tengah. Desa ini terletak cukup jauh dari kota besar karena berada pada ketinggian diatas seribu delapan ratus meter diatas permukaan laut. Akibat letak geografisnya yang dapat dibilang tinggi, temperature suhu udara di kawasan ini pun dapat terbilang dingin. Bagi mereka yang menyukai atau bahkan terbiasa dengan udara pegunungan yang notabene lebih dingin, tentu ketika datang ke Dieng tidak akan mengalami masalah dengan suhu udara disana. Satu hal yang tidak mungkin diingkari dan pasti semua orang setuju adalah air. Sesuka apapun atau bahkan seterbiasa apapun diri orang itu dengan suhu udara dingin, mereka tidak akan bisa berkata tidak dingin ketika mandi di pagi hari.

                Mari kita kembali ke topik kita sebelumnya yaitu tentang kata “gimbal” dan “gembel”. Keunikan masyarakat Dieng terhadap kedua kata tersebut menarik perhatian saya dan delapan orang teman lainnya untuk datang kesana. Kedua kata yang jika dalam kehidupan bermasyarakat umum merupakan dua kata yang sangat jauh berbeda arti maupun penampakan nyata. Namun, di depan warga Dieng, kedua kata ini adalah dua buah kata yang memiliki arti sama. Tidak hanya arti tetapi juga bentuk nyata yang sama. Arti yang mereka percayai sebagai kesamaan dari kata tersebut adalah sebuah model rambut yang menyerupai rambut si bintang reggae terkenal kita yaitu tidak lain dan tidak bukan adalah Bob Marley.

                Eits, tapi model rambut gimbal ini bukan seperti model rambut gimbal yang sudah biasa kita temui atau pun yang pada paragraph pertama tadi sudah kita bicarakan. Keunikan utama pada rambut gimbal di Dieng ini adalah rambut gimbal yang dimiliki oleh masyarakat di daerah itu bukanlah sebuah model rambut yang dibuat secara sengaja. Knapa, sudah mulai bingung? Model rambut gimbal ini tumbuh dengan sendirinya secara alami dan tidak ada campur tangan manusia sama sekali. Rambut ini akan tumbuh secara tiba-tiba dan terjadi peleketan atau penggumpalan secara alami. Faktor tambahan yang menjadikan rambut gimbal atau gembel ini semakin unik adalah orang-orang yang bisa mendapatkan model rambut ini hanyalah mereka yang masih tergolong anak-anak. Tidak ada orang yang berada pada jenjang usia remaja, dewasa, maupun lansia yang secara tiba-tiba tumbuh rambut gimbal di kepala mereka. Maka dari itu, keunikan budaya di wilayah Dieng lebih dikenal bukan dengan “orang gembel” melainkan dengan “anak gembel”.
 
                Sebenarnya jika kita pelajari lebih dalam, rambut gembel ini juga kurang pas rasanya jika dikatakan tumbuh secara tiba-tiba. Ada ciri-ciri atau gejala awal sebelum rambut gembel ini muncul pada anak-anak. Gejala yang akan timbul bukanlah sebuah kejadian yang sangat unik dan berbeda dari hal yang sudah ada. Gejala itu adalah sakit demam. Biasanya demam tinggi dialami oleh anak-anak yang akan ditumbuhi gembel. Namun, yang hingga sekarang masih menjadi permasalahan bagi warga khususnya orang tua anak yang akan ditumbuhi gembel adalah tidak ada perbedaan antara sakit demam biasa dengan sakit demam awal kemunculan gembel.

Kebanyakan orang tua tekadang bingung dan mengira demam yang menimpa anak mereka adalah penyakit biasa yang bisa disembuhkan dengan tindakan medis tetapi ketika sudah dilakukan, sang anak malah tak kunjung sembuh dan tetap menderita demam tinggi. Para orang tua pun menjadi panik dan berusaha kesana kemari mencari cara untuk menyembuhkan anak mereka. Ketika semua cara yang terpikirkan sudah dilakukan dan si anak belum juga sembuh, biasanya  yang terjadi adalah muncul gumpalan kecil baik satu ataupun lebih di kepala si anak pada pagi hari. Hal itu menjadi pertanda bagi orang tua bahwa anak mereka menjadi anak gembel. Kekhawatiran secara cepat menghilang karena anak yang sudah mulai tumbuh rambut gembelnya pasti akan mengalami kesembuhan secara alamiah tanpa perlu tindakan lanjutan dari pihak medis. Setelah sembuh, anak yang telah dikaruniai gembel ini akan menjadi lebih aktif disbandingkan dengan anak lain ataupun pribadi anak itu sendiri saat masih normal. Selain itu, dipercaya bahwa anak yang telah mendapat gembel akan lebih kebal terhadap kejadian merugikan yang ada di sekitar mereka.

Walaupun hanya anak-anak yang bisa memiliki rambut gembel tetapi tidak semua anak yang berada di desa Dieng bisa memilikinya. Bahkan, besarnya wilayah Dieng yang terbagi atas beberapa kampung lagi ini dapat dihitung jumlah anak yang menjadi anak gembel. Selama ini jumlah anak gembel terbanyak dari satu kampung yang pernah dimiliki kurang lebih sekitar lima orang. Anak yang menjadi gembel pun tidak memiliki riwayat keturunan langsung sebagai gembel. Kakek nenek dan orang tua dari si anak gembel ini biasanya hanyalah masyarakat biasa. Leluhur yang amat jauh dari anak gembel ini yang umumnya pernah menjadi seorang anak gembel.

Seorang pemangku adat yang biasanya dipanggil Mbah Naryono oleh warga setempat memaparkan bahwa kisah anak gembel ini memiliki sebuah mitos. Dikatakan bahwa gembel ini adalah sebuah titipan dari laut kidul. Penitipan ini bisa sampai ke warga Dieng melalui dua orang leluhur yaitu Mbah Agung Kolodete dan Ninik Dewi Roro Runcing. Akibat dari posisinya sebagai titipan, maka tidak semua anak yang ada di Dieng menjadi anak gembel. Masyarakat pun meyakini anak gembel merupakan anak-anak pilihan yang layak menerima gembel dengan segala konsekuensinya yang akan terjadi walau itu baik atau buruk.

Walau rambut gembel terlihat seperti sebuah berkah, tapi ada satu ritual yang harus mengakhiri masa seorang anak menjadi anak gembel. Ritual yang dimaksud itu adalah ritual ruwat. Ruwat adalah sebuah ritual dimana rambut gembel akan dipotong dari anak gembel. Ritual ini wajib dijalani oleh semua anak gembel. Namun, anak gembel hanya bisa menjalani prosesi ruwat ini ketika memenuhi dua persyaratan. Syarat pertama adalah si anak gembel sudah meminta atau sudah mengetahui persembahan apa yang mereka inginkan ketika menjalankan prosesi ruwat. Persembahan yang diminta pun diyakini bukanlah keinginan yang berasal dari anak gembel itu sendiri. Persembahan yang diutarakan oleh anak gembel diyakini warga berasal dari rambut gembelnya yang memiliki penunggu. Hipotesis itu bisa muncul dikarenakan dari masa dahulu hingga sekarang, anak gembel tidak pernah meminta persembahan berupa mainan atau barang elektronik yang sesuai dengan trend serta perkembangan jaman.

Persyaratan kedua yang harus digenapi sebelum seorang anak gembel terlibat dalam prosesi ruwat adalah si anak gembel harus sudah memiliki gigi tetap. Karena yang dianugrahi gembel ini adalah anak-anak, maka mereka pasti masih memiliki gigi susu. Gigi susu mereka harus sudah tanggal dan sudah digantikan oleh gigi asli. Kedua persyaratan yang dibutuhkan untuk prosesi ruwat sangat harus digenapi sebelum menjalaninya. Salah satu saja persyaratan tidak digenapi hanya akan membuat si anak gembel itu menderita. Penderitaan yang dimaksud adalah sakit demam yang cukup panjang harus dialami kembali oleh anak gembel akibat rambut gembel mereka itu akan kembali tumbuh dan jika tidak melakukan ritual ruwat hingga dewasa maka si anak gembel yang telah dewasa ini akan mengalami stress yang cukup berat. Maka, melaksanakan persyaratan tanpa terkecuali adalah sebuah keharusan untuk melakukan ritual ruwat agar berjalan lancar sesuai yang semestinya.

Prosesi ruwat yang dijalani oleh anak gembel sebagai kewajiban tentu juga ada tata cara yang harus diikuti. Prosesi akan dimulai dari komplek sedang sedayu. Dalam komplek ini anak gembel yang mengikuti prosesi ruwat akan berarak masuk mengikuti pemangku adat. Sang pemangku adat berjalan menuju sebuah sumur yang ada di pojok komplek sedang sedayu. Sesampainya di sumur, pemangku adat akan mengucapkan mantra dan doa yang harus digunakan. Setelah itu, sumur ini akan menjadi lokasi dimana anak gembel akan dimandikan oleh pemangku adat menggunakan air yang berasal dari dalam sumur bersama dengan kembang tujuh rupa.

Ritual ruwat kembali dilanjutkan dengan meneruskan pengarakan dari sumur menuju kawasan komplek candi arjuna. Terdapat lima candi berbeda di dalam komplek ini. Sesampainya di komplek candi arjuna yang letaknya tidak begitu jauh dari komplek sedang sedayu, pemangku adat akan berhenti di depan salah satu candi untuk masuk ke dalamnya lalu kembali mengucapkan mantra serta doa. Seperti sebelumnya, pemangku adat yang selesai mengucap mantra dan doa akan memanggil anak gembel satu persatu secara bergantian. Ini adalah saat ketika rambut gembel akan dipotong dan berpisah dari kehidupan anak gembel. Selanjutnya, potongan rambut gembel akan dibungkus dengan kain mori yang berwarna putih seperti dikafankan. Potongan rambut gembel yang sudah dibungkus dengan kain mori ini akan dibawa ke sbuah tempat yang bernama telaga warna. Ditempat ini ptonga rambut gembel akan dihanyutkan atau yang masyarakat Dieng sebut dengan pelarungan. Pelarungan di telaga warna yang terhubung dengan laut kidul ini bukan bermaksud untuk membuang potongan rambut melainkan untuk mengembalikan titipan kepada alam.

Kentalnya kepercayaan masyarakat di Dieng ini masih sangat jelas terlihat dengan sikap dan perilaku yang menyikapi peristiwa anak gembel ini. Percaya bahwa rambut gembel merupakan titipan dari laut kidul yang melalui leluhur dan adanya penunggu pada rambut gembel yang seakan menemani serta melindungi anak gembel membuat peristiwa ini sangat erat dengan hal mistis. Hal-hal yang telah ada dan masih terlaksana hingga sekarang ini membuat masyarakat Dieng menjadi kelompok yang tergolong animisme. Animisme merupakan perilaku hidup dimana masyarakatnya masih percaya akan hal-hal mistis dan kehadiran roh para leluhur yang dapat melindungi mereka.

Keyakinan akan kehadiran rambut gembel yang memiliki campur tangan dari dewa-dewa akibat kisah mitos yang bermula pada masa kerajaan Hindu Budha ini juga membuat masyarakat Dieng masuk ke dalam golongan kelompok politeisme. Namun, masyarakat di desa Dieng tidak menganut sistim animisme dan politeisme secara seratus persen. Mereka tetap percaya akan adanya agama dan sebagian besar dari warga Dieng saat ini menganut agama Islam. Mungkin kejadian ini memang terkesan aneh jika dilihat oleh masyarakat di daerah perkotaan yang lebih berpihak kepada kepercayaan agama dibandingkan kepada animisme ataupun politeisme, terlebih jika mengingat kita sudah berada pada abad ke dua puluh satu dimana dunia modern yang lebih berkuasa.

Akulturasi atau penyesuaian terhadap budaya baru juga terjadi di wilayah desa Dieng ini. Tanda nyata dari akulturasi yang paling mudah terlihat terdapat pada prosesi ruwatan. Dalam ritual ruwat, keseluruhan prosesi dari awal hingga selesai dilakukan dengan tata cara dan budaya Isalm. Namun, tempat-tempat yang terlibat bahkan menjadi lokasi penting dalam ritual ruwat itu sendiri merupakan peninggalan dari kerajaan yang bercorak Hindu Budha. Contoh yang paling mudah adalah ketika tahap pemangku adat berdoa dan mengucap mantra sebelum memotong rambut gembel. Doa dan mantra yang digunakan berlandaskan hukum Islam, tetapi lokasi pastinya adalah salah satu candi dar komplek candi arjuna yang merupakan peninggalan kerajaan Hindu khususnya aliran pemuja dewa Siwa.

Jika ingin dikulik secara lebih spesifik lagi, masyarakat Dieng juga menerapkan sikap integrasi pada kegiatan yang dilaksanakan oleh mereka baru-baru ini. Integrasi adalah sebuah sikap dimana orang atau kelompok tetap mempertahankan budaya asli mereka tetapi berinteraksi dengan budaya lain dalam kehidupan sehari-hari dan mengambil nilai positif dari budaya lain yang mereka temui tersebut. Dipelopori oleh Mas Alif yang merupakan ketua pelaksana ritual ruwat sekaligus acara Dieng Culture Festival, masyarakat dieng memperkenalkan budaya mereka kepada dunia dan mempersilahkan siapapun yang ingin melihat serta menerima budaya mereka dengan interaksi yang terjadi ketika pengunjung tersebut hadir ke acara Dieng Culture Festival.

Hal ini secara sadar maupun tidak sadar membuat warga desa Dieng menjadi kelompok masyarakat yang terbuka. Pemikiran dalam benak pribadi bahwa budaya diri sendirilah yang paling luar biasa terus menjauh dan semakin memudar. Kebesaran hati dan kebijakan yang perlahan mulai tumbuh ini membuat masyarakat Dieng menjauh dari sifat Etnosentrisme yang dapat menjadi penghambat dan penghalang dari kegiatan yang bertujuan melakukan tindak akulturasi.

No comments:

Post a Comment